Begini Konsekuensi Logis Status Hakim Pejabat Negara
Berita

Begini Konsekuensi Logis Status Hakim Pejabat Negara

Bakal mengubah sistem manajemen kepegawaian, serta berdampak pada keuangan negara. Sebab, mesti mempersiapkan segala fasilitas hakim ketika berstatus pejabat negara.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi profesi hakim. Foto: SGP
Ilustrasi profesi hakim. Foto: SGP
DPR resmi sudah menjadi pihak inisiator Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim. Sejumlah aturan mengenai hakim dituangkan dalam RUU tersebut. Antara lain penegasan status hakim sebagai pejabat negara. Namun rancangan aturan status hakim pejabat negara terdapat konsekuensi logis yang mesti dipertimbangkan dalam pembahasan antara Panja RUU Jabatan Hakim  dengan pemeirntah.

Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY) Sukma Violetta berpandangan sedari awal banyak UU menyebutkan hakim sebagai pejabat negara. Tapi faktanya, selama 17 tahun  hakim justru sebagai pengawai negeri sipil. Terlebih dengan terbitnya UU No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menguatkan status hakim dalam praktiknya sebagai PNS.

Ia berpandangan, perubahan status tersebut mestinya dihentikan. Sebabnya itu tadi, meski di atas kertas sebagai pejabat negara, praktik di lapangan diubah menjadi PNS. Nah, dengan perubahan status itulah berdampak pula terhadap manajemen terhadap profesi hakim. Perubahan manajemen hakim mestinya mengarah ke yang lebih baik. Dengan begitu dapat menjadikan sosok hakim-hakim yang profesional.

Dari aspek rekrutmen, perubahan status itu pun berdampak cukup signifikan. Bila proses rekrutmen terhadap hakim berstatus PNS, maka mekanismenya sebagaimana diatur dalam UU ASN. Sebabnya, status hakim sebagai PNS memiliki masa yang cukup panjang kedinasannya, hingga purnabakti.

Sedangkan hakim sebagai pejabat negara, tentunya memiliki masa periode terbatas. Seperti halnya pejabat negara lainnya yang dibatasi masa periodesasi lima tahunan setidaknya. Maka itu, proses rekrutmennya dilakukan secara seleksi. Yakni pejabat negara dari cabang kekuasaan eksekutif. Begitu pula cabang kekuasaan yudikatif yakni hakim konstitusi. Sedangkan cabang kekuasaan dari legislatif mengunakan sistem election.

“Status hakim sebagai pejabat negara dari segi rekrutmennya berbeda dengan PNS,” ujarnya dalam sebuah seminar yang digagas Fraksi Partai Persatuan Pembangunan di Gedung DPR, Rabu (26/10). (Baca Juga: Tiga Fokus KY dalam RUU Jabatan Hakim)

Namun bila proses rekrutmennya tetap menggunakan pola rekrutmen PNS, maka dilakukan secara transparan dan partisipatif dari masyarakat. Setidaknya melibatkan berbagai pihak. Misalnya kalangan masyarakat, universitas dan hakim agung dalam mencari jejak rekam calon.

Sistem manajemen kepegawaian pun mesti dipertimbangkan. Pasalnya dengan terbatasnya masa jabatan hakim sebagai pejabat negara mesti dipertimbangkan sistem manajemennya. Selain itu pula status pejabat negara berimplikasi terhadap keuangan negara. Pasalnya fasilitas pejabat negara pun mesti diberikan bagi hakim.

“Konsekuensi hakim sebagai pejabat negara maka fasilitasnya yang harus disiapkan sangat besar. Jika status hakim pejabat negara, maka dalam pembahasannya harus dipikirkan matang,” ujarnya.

Direktur Harmonisasi Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Nasrudin mengatakan dalam pembahasan penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) bakal melibatkan berbagai pihak. Mulai MA, KY, Menkeu, dan Menpan-RB. Pelibatan terhadap Menkeu berkaitan dengan pengaturan keuangan negara. Sebab bila status hakim pejabat negara bakal berdampak pada keuangan negara.

Selain itu, peran masyarakat pun bakal dilibatkan. Menurutnya independesi hakim dapat terlihat ketika berstatus sebagai pejabat negara. Soalnya, status pejabat negara bagi hakim berada di luar eksekutif. Terkait dengan usia, pejabat negara dapat diperpanjang setelah melalui tahap evaluasi. Sedangkan berstatus PNS, tentunya dari kalangan karier dan tunduk terhadap UU ASN. (Baca Juga: Jika RUU Jabatan Hakim Disahkan, Hakim Bukan ‘Monopoli’ MA)
Tags:

Berita Terkait