Bergosip dan Bernyanyi di Sidang Termasuk Contempt of Court
Berita

Bergosip dan Bernyanyi di Sidang Termasuk Contempt of Court

Ada dua jenis contempt of court.

ALI
Bacaan 2 Menit
Bergosip dan Bernyanyi di Sidang Termasuk <i>Contempt of Court</i>
Hukumonline
Mahkamah Agung (MA) terus mendorong pembentukan UU tentang Penghinaan terhadap Pengadilan (Contempt of Court) untuk menjaga independensi peradilan dan melindungi martabat hakim. Lalu, tindakan-tindakan apa yang bisa dianggap sebagai contempt of court?

Mantan Ketua MA Bagir Manan menjelaskan bahwa sebutan contempt of court sebenarnya tidak akurat dan cenderung menyesatkan. Sebutan ini, seolah-olah mengesankan yang akan dilindungi adalah keagungan pengadilan.

“Sesungguhnya, dalam contempt of court, keadilan (justice) itu sendiri yang dicemoohkan, bukan pengadilan sebagai sebuah badan, bukan hakim. Tetapi meskipun disadari sebutan itu tidak tepat, tetapi belum ditemukan alternatif lain,” sebut Bagir dalam makalahnya di sebuah seminar di Jakarta, Kamis (22/5).

Berdasarkan sistem hukum common law, lanjut Bagir, ada dua jenis contempt of court yakni civil contempt dan criminal contempt (kecuali di Skotlandia, tak ada perbedaan). Di Inggris, dua jenis contempt of court ini sama-sama memberikan ancaman sanki pidana dan cara-cara pembuktian dilaksanakan menurut hukum acara pidana.

“Dalam praktik, criminal contempt diperiksa sebagai perkara sumir dengan ancaman pidana lebih ringan. Menurut common law, tidak ada banding atas putusan criminal contempt. Tetapi, berdasarkan Administration of Justice Act (1960), dapat diajukan banding,” ujarnya.

Civil contempt dan criminal contempt memiliki perbedaan, yakni civil contempt terjadi karena tidak menjalankan atau mengabaikan perintah pengadilan dalam perkara keperdataan. Sedangkan, criminal contempt menyangkut beberapa tindakan seperti di bawah ini:

Pertama, mempermalukan pengadilan. Di Skotlandia disebut menggosipkan hakim (murmuring judges). Mempermalukan ini dilakukan dengan menuduh secara samar-samar dan tanpa dasar telah terjadi penyelewengan (korupsi) dan praktik yang melenceng di pengadilan.

“Ancaman sanksi ini dimaksudkan untuk menjaga kepentingan publik terhadap pengadilan,” sebut Bagir.

Kedua, mencampuri proses peradilan yang sedang berjalan. Salah satu bentuk mencampuri adalah, misalnya, mempublikasikan atau mengungkapkan kepada pihak lain perundingan-perundingan yang dilakukan juri (yang selalu dilakukan secara tertutup).

Ada juga larangan mempublikasikan namun atas nama korban pemerasan atau saksi. Selain untuk menjaga kepercayan publik terhadap pengadilan, pembatasan ini untuk mencegah korban lain enggan melapor atau keengganan menjadi saksi.

Ketiga, melecehkan pengadilan secara langsung. Melecehkan atau meremehkan ini meliputi menyerang, mengancam, memaki atau mengganggu jalannya persidangan dengan cara-cara seperti berteriak, bersorak, atau menyanyi-nyanyi di dalam persidangan.   

“Ada pula kemungkinan seseorang terkena sanksi atas dasar contempt of court karena tidak menghadiri sidang, tidak menyampaikan dokumen atau tidak menjawab pertanyaan penting yang diperlukan persidangan,” jelas pria yang kini menjabat sebagai Ketua Dewan Pers ini.

Keempat, dengan sengaja mencampuri proses peradilan dengan cara tertentu. Pelecehan ini menyangkut perbuatan atau tindakan untuk mempengaruhi kesimpulan suatu proses peradilan, seperti percobaan menyuap atau mengintimidasi hakim, juri atau saksi.

Kelima, mencampuri secara tidak sengaja melalui publikasi yang dapat merugikan proses peradilan. “Digolongkan sebagai pelecehan apabila dapat secara substansial menimbulkan resiko menghalangi atau merugikan proses peradilan,” jelas Bagir.

Sedangkan, di India, meski sama-sama menganut sistem common law, agak sedikit berbeda dengan Inggris. Selain diatur dalam UU Contempt of Court (1971), India juga menyebutkan ke dalam Undang-Undang Dasar-nya bahwa contempt of court sebagai pembatasan kebebasan berekspresi dan kebebasan berbicara atau berpendapat.

Di India, lanjut Bagir, civil contempt tidak hanya karena tidak menjalankan perintah pengadilan, tetapi juga menyangkut hal-hal lain. Misalnya, perbuatan yang meliputi tidak mematuhi atau tidak menjalankan putusan pengadilan, ketetapan pengadilan, petunjuk pengadilan atau proses lain di pengadilan, atau dengan sengaja menghalangi proses peradilan.

Bagir menjelaskan criminal contempt menyangkut tiga hal. Yakni, pertama, mempermalukan atau bermaksud mempermalukan, atau merendahkan atau bermaksud merendahkan pengadilan. Kedua, berprasangka, atau mencampuri atau bermaksud mencampuri jalannya peradilan. Ketiga, mencampuri atau bermaksud mencampuri, atau menghalangi atau bermaksud menghalangi penyelenggaraan peradilan.

Sayangnya, lanjut Bagir, tradisi adanya UU Contempt of Court tidak ada dalam sistem hukum Civil Law (Eropa Kontinental), seperti yang dianut Indonesia. Selain tak (belum) memiliki UU Contempt of Court, hal itu juga tidak terdapat di UUD 1945.

“Dalam UUD 1945 tidak dijumpai ketentuan mengenai contempt of court. Karena itu tidaklah mengherankan –terutama sejak reformasi- setiap orang di depan umum dapat mencampuri, menelanjangi, meremehkan dan mecelehkan pengadilan,” ujarnya.

Hakim Agung Salman Luthan menilai pentingnya UU Contempt of Court untuk menjaga independensi peradilan di Indonesia. “Di negara-negara common law, ketentuan hukum mengenai contempt of court diadakan untuk melindungi proses peradilan dari campur tangan media melalui pemberitaannya, dan dari para lawyer dalam memberikan pembelaan kepada kliennya, dan dari kekuatan-kekuatan lain yang ingin mencampuri proses peradilan,” pungkas Salman.
Tags:

Berita Terkait