Beri Penghargaan Industri Rokok, Menkeu Dinilai Langgar Aturan Ini
Berita

Beri Penghargaan Industri Rokok, Menkeu Dinilai Langgar Aturan Ini

Cukai rokok bukan dibayarkan oleh industri. Penerimaan negara dari cukai rokok meningkat karena peningkatan jumlah rokok yang dikonsumsi masyarakat.

KAR
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Pada peringatan Hari Kepabean Internasional ke-64 pada Januari lalu, Menteri Keunagan Bambang Brodjonegoro memberikan penghargaan kepada empat industri rokok. Penghargaan tersebut diberikan atas alasan perusahaan rokok dinilai berkontribusi dalam peningkatan cukai di Indonesia. Sehingga, pendapatan negara dari cukai tersebut rata-rata meningkat 10% per tahun.

Penghargaan itu dinilai bertentangan dengan filosofi pemberlakuan cukai sebagaimana amanat UU No.39 Tahun 2007 tentang Cukai. Ketua Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI), Kartono Muhammad, mengatakan bahwa tingginya penerimaan negara dari cukai bukan merupakan prestasi. Ia mengatakan, hal itu justru membuktikan bahwa negara telah gagal untuk melindungi masyarakat dari konsumsi zat adiktif yang berbahaya.

Sebagaimana diketahui, Pasal 2 UU No.39 Tahun 2007 mengatur bahwa barang yang dikenai cukai merupakan barang yang pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat atau lingkungan hidup. Dengan demikian, konsumsinya perlu dikendalikan dan peredarannya diawasi. Sehingga, visi jangka panjang dari pengenaan cukai terhadap rokok adalah suatu saat konsumsinya menurun dan produksinya ikut turun.

Lebih lanjut, Kartono mengatakan bahwa cukai rokok bukan dibayarkan oleh industri rokok. Menurutnya, industri hanya bertindak menalangi pembayaran cukai itu. Namun pada dasarnya, konsumen rokok yang membayarkan cukai tersebut melalui Pajak Pertambahan Nilai (PPn) setiap kali membeli rokok.

“Selain itu, cukai rokok bukan dibayarkan oleh industri rokok tetapi oleh para perokok itu sendiri. Jadi, sangat keliru memberikan penghargaan atas tingginya penerimaan cukai kepada industri rokok,” kata Kartono dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (4/2).

Ketua Koalisi Rakyat Bersatu Melawan Kebohongan Industri Rokok, Jalal, mengatakanbahwa naiknya cukai rokok yang diklaim pemerintah bukanlah kenaikan sesungguhnya. Sebab, menurut Jalal, pendapatan negara dari cukai rokok mengalami peningkatan karena adanya peningkatan jumlah rokok yang diproduksi. Artinya, nilai cukai yang ditetapkan pemerintah tidak mengalami kenaikan.

“Kenapa pemerintah menganggap ini prestasi? Cukai rokok kita sangat murah. Peningkatannya pun bukan karena pemerintah menaikan cukai, tetapi karena rokok yang diproduksi bertambah banyak,” kataJalal.

Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat Raya Indonesia, Herry Chariansyah, menambahkan cukai pada dasarnya merupakan pajak dosa. Ia menjelaskan bahwa tujuan utama pengenaan cukai karena pemerintah ingin berperan dalam mekanisme control terhadap barang-barang yang harus dibatasi. Pada akhirnya, menurut Herry tujuan cukai tercapai bila konsumsi barang tersebut bisa ditekan dan produksinya mengalami penurunan.

Ia menuturkan, merujuk pada Pasal 2 UU Cukai, maka rokok dikenakan cukai karena sebagai barang konsumsi yang masih legal, tetap diperlukan pembatasan. Oleh karena itu, menurutnya prestasi negara adalah ketika mampu melindungi masyarakat dari konsumsi zat adiktif yang berbahaya tersebut. Herry menyebut, buktinya adalah ketika konsumi dan produksi rokok menurun, bukan ketika cukai rokok meningkat karena produksinya bertambah.

“Jadi ada sesat pikir di sini. Seharusnya kalau memang pemerintah ingin memaksimalkan penerimaan negara dari cukai, mestinya dilakukan dengan menetapkan tarif cukai yang setinggi-tingginya, bukan dengan meningkatkan produksi rokok,” tambahnya.

Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, menambahkan bahwa penghargaan pemerintah kepada industri rokok merupakan suatu tragedi. Sebab, ia mengingatkan bahwa cukai tidak pernah masuk ke dalam struktur biaya produksi rokok yang dibebankan kepada industri. Sehingga, menurut Tulus,pemerintah tidak layak memberikan penghargaan kepada industri rokok karena dianggap telah berjasa meningkatkan penerimaan negara.

“Lagipula, konsumen rokok berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) kebanyakan adalah masyarakat miskin. Dalam rumah tangga miskin, rokok merupakan barang konsumsi terbesar kedua setelah beras. Dengan memelihara industri rokok artinya Menteri Keuangan anti pemberantasan kemiskinan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait