BI Yakin Swap Agreement Kurangi Kerugian Pengusaha
Berita

BI Yakin Swap Agreement Kurangi Kerugian Pengusaha

Bilateral currency swap agreement salah satu cara BI dalam mendukung perdagangan Indonesia.

FAT
Bacaan 2 Menit
BI Yakin Swap Agreement Kurangi Kerugian Pengusaha
Hukumonline
Bank Indonesia (BI) menandatangani perjanjian kerjasama Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA) dengan bank sentral Korea. Gubernur BI Agus DW Martowardojo mengatakan, kerjasama ini dapat mengurangi kerugian bagi pelaku usaha di Indonesia. Apalagi, latar belakang kerjasama ini diperuntukkan bagi sektor perdagangan antar kedua negara.

“Justru tujuan utama dari pada swapnya adalah kita bangun kerjasama dengan negara-negara sahabat, juga utamanya ingin mendukung perdagangan,” kata Agus di Gedung BI di Jakarta, Kamis (6/3).

Agus mengatakan, perjanjian ini memungkinkan swap mata uang lokal antara kedua bank sentral senilai Korean Won (KWN) 10,7 triliun atau Rp115 triliun. Menurutnya, perjanjian ini berlaku efektif selama tiga tahun dan dapat diperpanjang atas kesepakatan kedua belah pihak.

Ia percaya, melalui BCSA ini maka ekonomi kedua negara dapat lebih berkembang lagi. Hal ini dikarenakan dalam perjanjian ini dijamin penyelesaian transaksi perdagangan dalam mata uang lokal kedua negara, meski tengah terjadi krisis. Menurutnya, cara ini dipercaya dapat mendukung stabilitas keuangan nasional di kedua negara.

Agus menuturkan, salah satu latar belakang dilakukannya perjanjian ini lantaran banyak perusahaan di Indonesia pada tahun 2013 lalu mengalami kerugian karena nilai tukar. Ia berharap, pengusaha Indonesia dapat selalu menjaga dan fokus pada kegiatan usahanya. “Dan jangan ambil risiko dari mata uang,” katanya.

Ia tak menampik, dalam setiap menjalankan kegiatan usaha, selalu ada risiko bagi perusahaan. Mulai dari risiko pasar, risiko kredit, risiko reputasi hingga risiko nilai tukar. Menurutnya, kerugian perusahaan baik BUMN maupun swasta karena nilai tukar lantaran perusahaan tersebut kerap meminjam valuta asing tapi penghasilan perusahaan dalam bentuk rupiah. Selain itu, banyak perusahaan BUMN yang belum menerapkan hedging dalam setiap kegiatan usahanya.

“Risiko yang bisa kita ambil pelajaran dari sisi keuangan adalah risiko mata uang, risiko jatuh waktu sama risiko tingkat bunga yang floating dengan tingkat bunga yang ketat atau fix,” ujarnya.

Agus berjanji, kerjasama-kerjasama seperti ini akan terus dilakukan BI. Menurutnya, ke depan masih ada beberapa rencana kerjasama dengan bakn sentral negara lain terkait BCSA ini. Namun sayangnya, ia lupa bank sentral mana saja yang akan bekerjasama dengan BI tersebut.

Direktur Eksekutif Kepala Departemen Internasional BI Aida S Budiman menambahkan, kerjasama ini merupakan tindaklanjut dari kesepakatan yang telah dibuat di Washington DC pada 12 Oktober 2013 silam. Salah satu alasan dipilihnya Korea dalam kerjasama ini karena potensi ekspor dari Indonesia ke negara tersebut sangat besar.

Bahkan, Korea merupakan negara tujuan ekspor Indonesia terbesar kelima dengan total nilai perdagangan mencapai AS$11,6 miliar. “Sekarang sudah ada yang menggunakan, tapi masih kecil atau setara AS$5,9 juta. Jadi masih besar potensinya,” kata Aida.

Perjanjian kerjasama dalam bentuk BCSA ini bukanlah yang pertama kali dilakukan BI. Sebelumnya, BI telah menandatangani kerjasama BCSA ini dengan China. Salah satu dasar hukum dilakukan perjanjian kerjasama ini adalah Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 12/6/PBI/2010 tentang Transaksi Repurchase Agreement Chinese Yuan Terhadap Surat Berharga Rupiah Bank Kepada Bank Indonesia.

Aida mengatakan, jika ketetapan perjanjian antara BI dengan Korea sama pada saat perjanjian dengan China, maka PBI akan direvisi. Sebaliknya, jika hasil evaluasi PBI tersebut ketentuannya berbeda, maka akan dibuat PBI baru.

“PBI sudah ada pada 2010, Dengan Korean Won sebenarnya bisa langsung ditambahkan dalam PBI itu, tapi kami mau evaluasi dulu,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait