BPOM Tidak Transparan, LSM Siapkan Class Action
Susu Formula Terkontaminasi

BPOM Tidak Transparan, LSM Siapkan Class Action

Permasalahan ini muncul karena BPOM ditenggarai tidak melakukan Regular Inspection.

Rzk/CRR
Bacaan 2 Menit
BPOM Tidak Transparan, LSM Siapkan Class Action
Hukumonline

 

PERNYATAAN PERS BPOM

1.      PENELITIAN IPB DILAKUKAN PADA TAHUN 2003 DENGAN SAMPLING SUSU YANG BEREDAR PADA MASA ITU, MAKA SUSU YANG TERKONTAMINASI BAKTERI ENTEROBACTER SAKAZAKII SEKARANG SUDAH TIDAK ADA LAGI DIPASARAN

2.      SESUAI KAIDAH PENELITIAN, PENELITI BELUM PERNAH DAN TIDAK AKAN MENGUMUMKAN MEREK YANG TELAH DITELITI

3.      ADANYA ISU TENTANG DAFTAR SUSU AMAN DAN SUSU YANG BERBAHAYA YANG BEREDAR DI MASYARAKAT DAN MENGATASNAMAKAN BADAN POM ADALAH TIDAK BENAR

4.      SAMPAI SAAT INI DI INDONESIA BELUM ADA LAPORAN TENTANG KASUS BAYI YANG SAKIT AKIBAT SUSU FORMULA DAN MAKANAN BAYI YANG TERKONTAMINASI BAKTERI ENTEROBACTER SAKAZAKII

5.      LAPORAN KASUS DI LUAR NEGERI, SELAMA 42 TAHUN (SEJAK 1961 SAMPAI DENGAN 2003) HANYA DITEMUKAN 48 KASUS, UMUMNYA PADA BAYI UMUR DI BAWAH SATU BULAN, DENGAN SISTEM KEKEBALAN TUBUH RENDAH, BERAT LAHIR RENDAH, DAN BAYI PREMATUR

6.      BAYI 0-6 BULAN HARUS DIBERIKAN ASI EKSKLUSIF. BILA KARENA SESUATU HAL ASI TIDAK DAPAT DIBERIKAN, MAKA DAPAT DIBERIKAN SUSU FORMULA

7.      DALAM MEMBERIKAN SUSU FORMULA, HARUS MEMPERHATIKAN STANDAR KEBERSIHAN PERALATAM DAN PROSEDUR MEMPERSIAPKAN SERTA MENYAJIKAN SUSU FORMULA DENGAN BENAR (SEBAGAIMANA TERLAMPIR)

8.      SELURUH SUSU FORMULA YANG BEREDAR DI PASARAN TELAH DILAKUKAN EVALUASI TERHADAP KEAMANAN, MUTU DAN GIZINYA SERTA DIMONITOR SECARA BERKALA OLEH BADAN POM

Sumber: http://www.pom.go.id/public/berita_aktual/detail.asp?id=192

 

Keterbukaan Informasi

Namun, langkah BPOM ternyata dipandang belum cukup oleh sejumlah LSM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (Koalisi). Dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (13/3), Koalisi mendesak pemerintah khususnya BPOM bersikap transparan dalam kasus ini. BPOM diminta segera mengumumkan hasil verifikasi mereka, termasuk daftar produk yang secara nyata telah terkontaminasi. Kecemasan publik setidaknya dapat diredam dengan sikap pemerintah yang fair dan transparan, ujar Sudaryatmo, Divisi Litigasi Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

 

Sudaryatmo tidak asal bicara karena hak masyarakat sebagai konsumen untuk memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa dijamin oleh Pasal 4 huruf c UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Terlebih lagi, YLKI pasca dilansirnya penelitian IPB menerima banyak pengaduan dari masyarakat. Komnas Perlindungan Anak bahkan menerima laporan ada sekitar 77 kasus pencemaran susu formula yang tersebar di seluruh Indonesia.

 

Sementara itu, Divisi Pemantauan Pelayanan Umum ICW Agus Sunaryanto berpendapat, BPOM seharusnya tidak boleh memonopoli informasi sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik. Melengkapi dalil hukum yang diajukan Sudaryatmo, Agus menyebut UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 21 ayat (1) menyatakan ‘Pengamanan makanan dan minuman diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan mengenai standar dan atau persyaratan kesehatan'.

 

Lalu, ada pula prinsip-prinsip keterbukaan informasi publik yang terkandung dalam RUU Kebebasan Informasi Publik (KIP). Salah satunya, prinsip pengecualian informasi yang harus diatur secara ketat dan limitatif. Pengecualian juga harus didasarkan atas dasar kondisi yang dapat merugikan kepentingan nasional (consequential harm test).

 

Kredibilitas BPOM

Kami menunggu keterbukaan BPOM. Mereka berjanji akan membeberkan semuanya dalam waktu dua minggu, terhitung dari minggu kemarin ujar Agus. Apabila sampai tenggat waktu yang dijanjikan BPOM belum juga mengambil sikap, maka Koalisi berencana membentuk Tim Peneliti Independen.

 

Selain itu, tidak tertutup kemungkinan juga akan ditempuh gugatan kelompok (Class Action). Namun, khusus untuk langkah ini, Agus mengatakan diperlukan dukungan penuh dari masyarakat, khususnya yang menjadi korban produk terkait. Jadi, tergantung konsumennya, apakah mereka punya kesadaran dan kooperatif dalam mengumpulkan bukti atau tidak timpal Sudaryatmo.

 

Dengan masuknya produk-produk bermasalah seperti itu, menurut Sudaryatmo, kredibilitas BPOM selayaknya dipertanyakan. Padahal, salah satu fungsi BPOM adalah mengevaluasi produk sebelum diizinkan beredar. Fungsi lainnya yang tidak kalah penting adalah post marketing vigilance termasuk di dalamnya sampling dan pengujian laboratorium, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi. 

 

Lebih lanjut, dia mengatakan permasalahan ini sebenarnya tidak akan muncul apabila BPOM melakukan inspeksi rutin (Regular Inspection). Merujuk pada skema pengawasan produk makanan yang berlaku, Regular Inspection merupakan salah satu poin penting yang harus dilakukan BPOM secara rutin setelah produk-produk makanan beredar di pasaran. Seharusnya, jika BPOM melakukan Regular Inspection bakteri ini sudah terdeteksi jauh-jauh hari sebelum IPB melakukan riset, tukasnya.

 

Dimintai klarifikasinya, Adam P.W.A Wibowo dari Biro Hukum BPOM menolak berkomentar banyak dengan alasan tidak berkompeten untuk memberikan penjelasan. Adam praktis hanya mau mengomentari sedikit tentang rencana Class Action yang akan diajukan LSM. Tetapi yang mesti diingat, untuk melakukan Class Action itu kan ada prasyarat-prasyarat yang mesti dipenuhi, ujarnya menutup pembicaraan.

Kami sebenarnya tidak menyangka akan menemukan Enterobacter Sakazakii, begitu pengakuan salah seorang Peneliti Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) IPB Sri Estuningsih dalam acara Democrazy, sebuah talkshow parodi politik di Metro TV yang tayang setiap Minggu malem. Pengakuan menarik ini seolah-olah menyiratkan bahwa bakteri yang dalam beberapa pekan terakhir menjadi perbincangan terhangat di masyarakat ini, ternyata ditemukan secara ‘tidak sengaja'.

 

Sebagaimana ramai telah diberitakan sejumlah media, Tim FKH IPB medio Februari lalu melansir berita yang cukup mencengangkan. Hasil penelitian mereka mengungkapkan bahwa sebanyak 22,73 persen susu formula (dari 22 sampel)  dan 40 persen makanan bayi (dari 15 sampel) yang dipasarkan antara April - Juni 2006 telah terkontaminasi bakteri Enterobacter Sakazakii (ES). Berita yang lebih mencengangkan lagi, semua sampel yang diambil adalah produk lokal.

 

Sontak saja, kabar dari kampus yang terletak di Kota Hujan, Bogor ini membuat masyarakat khususnya kaum ibu kalang-kabut. Bagaimana tidak, berdasarkan situs United States Food and Drug Administration (USFDA), ES dinyatakan sebagai bakteri berbahaya karena dapat menyebabkan sejumlah penyakit seperti neonatal meningitis (infeksi selaput otak pada bayi), hidrosefalus (kepala besar karena cairan otak berlebihan), sepsis (infeksi berat), dan necrotizing enterocolitis (kerusakan berat saluran cerna).

 

Kepanikan masyarakat semakin menjadi-jadi karena hingga kini belum terkuak nama-nama produk yang mengandung ES. Salah satu lembaga yang mendapat sorotan utama selain Departemen Kesehatan adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pasca pengumuman hasil penelitian IPB, BPOM bukannya tidak bereaksi.

 

Pada 29 Februari lalu, BPOM meluncurkan rilis yang isinya terkesan menafikkan penelitian IPB. BPOM, misalnya, berani mengklaim bahwa susu yang terkontaminasi bakteri ES sudah tidak ada lagi di pasaran, karena penelitian IPB terjadi pada 2003 silam dengan sampling produk susu yang beredar saat itu.

Halaman Selanjutnya:
Tags: