“Disgorgement of Profits” Bagi Korporasi Penyuap
Oleh: Arsul Sani, SH, M.Si, MCIArb*)
Kolom

“Disgorgement of Profits” Bagi Korporasi Penyuap
Oleh: Arsul Sani, SH, M.Si, MCIArb*)

Awalnya diintroduksi oleh Amerika Serikat melalui the U.S. Foreign Corrupt Practices Act of 1977, kini telah pula diterapkan melalui legislasi negara-negara anggota OECD,

Bacaan 2 Menit
“Disgorgement of Profits” Bagi Korporasi Penyuap <br>Oleh: Arsul Sani, SH, M.Si, MCIArb*)
Hukumonline

Laporan Korupsi Global Transparency International (TI) yang dirilis 7 Oktober 2009 mengungkapkan 60 persen eksekutif bisnis di banyak negara berkembang (termasuk Indonesia) mengaku harus memberikan suap ketika berhubungan dengan pejabat publik. Total nilai suap global ini hampir AS$40 milyar (+ Rp388 triliun) setiap tahun.

Untuk kita, ada dua pertanyaan yang kemudian patut diajukan: Apakah pidana penjara dan denda yang ada tidak cukup memadai sebagai efek jera? Jika memang ya, bagaimana dissuasive criminal penalties di negara lain dapat diambil sebagai referensi bagi pembaharuan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK)?

Millstone dari FCPA 
Dalam tiga tahun terakhir, penindakan kasus suap korporasi terhadap pejabat publik di banyak negara maju memasuki tahapan baru. Pemidanaan tidak hanya dijatuhkan terhadap eksekutif korporasi yang terlibat. Akan tetapi juga terhadap korporasinya, dalam bentuk pembayaran denda dan pengambilan keuntungan (profit) korporasi dari bisnis yang didapat dari suap tersebut. Hukuman ini dikenal sebagai: disgorgement of profits, yang awalnya diintroduksi oleh Amerika Serikat (AS) melalui the U.S. Foreign Corrupt Practices Act of 1977 (FCPA).       

Kumulasi hukuman model FCPA itu kini telah pula diterapkan melalui legislasi negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), dengan mengacu pada the 1997 OECD Anti-Bribery Convention. Pasal 3 (3) Konvensi ini meletakkan dasar bagi penerapan denda dan disgorgement of profits sebagai hukuman terhadap korporasi yang terbukti menyuap pejabat publik. Landasan serupa juga diletakkan dalam Pasal 31 (6) the 2003 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No 7 Tahun 2006.

“Case Precedent”
Dari data Control Risks (UK), selama semester pertama 2009 ini lebih dari 120  kasus penyuapan pejabat publik disidik di AS dan negara-negara OECD. Banyak korporasi besar  yang disidik terancam hukuman denda dan disgorgement of profits. Pada Februari 2009, perusahaan minyak raksasa AS, Halliburton, dan afiliasinya, KBR Inc. harus membayar sejumlah AS$579 juta (+ Rp5,6 triliun) kepada negaranya, terdiri dari denda AS$402 juta dan AS$177 juta sebagai disgorgement of profits.  Selain hukuman ini, top eksekutifnya yang mengaku bersalah (plea guilty) dihukum tujuh tahun penjara. Kedua perusahaan ini mengakui menyuap para pejabat publik di Nigeria untuk mendapatkan kontrak  pembangunan fasilitas gas alam di Bonny Island, Nigeria.

Kasus lebih besar menimpa konglomerasi Jerman, Siemens AG, yang secara paralel disidik oleh otoritas AS dan Jerman atas 77 kasus dugaan penyuapan pejabat publik di Libya, Rusia dan Nigeria serta di Cina, Hongaria, Israel dan Indonesia. Pada Oktober 2007, berdasarkan putusan Pengadilan di Munich, Siemens AG membayar denda setara AS$285 juta (+ Rp2,76 triliun). Satu tahun kemudian, otoritas di AS menghukum dengan total denda AS$450 juta (+ Rp4,36 triliun) ditambah disgorgement of profits sebesar AS$350 juta (+ Rp3,34 triliun).

Di luar itu, pada akhir 2008 Siemens AG juga harus membayar lagi denda kepada penegak hukum Jerman AS$569 juta (+ Rp5,52 triliun). Jumlah total yang dibayar Siemens AG atas kasus suap yang dilakukan oleh manajemennya tidak kurang dari AS$1,6 milyar (+  Rp15,52 triliun), di luar jumlah AS$100 juta  yang dikeluarkan sebagai biaya untuk membayar lnternational Law Firms dan Accounting Firms yang disewa untuk menghadapi kasus ini.

Tags: