Divonis Bersalah, Penulis Surat Pembaca Langsung Banding
Utama

Divonis Bersalah, Penulis Surat Pembaca Langsung Banding

Hakim menyatakan Aseng dan Winny bersalah melakukan fitnah terhadap PT Duta Pertiwi karena dianggap gagal membuktikan tuduhan bahwa PT Duta Pertiwi telah menipu mereka.

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Divonis Bersalah, Penulis Surat Pembaca Langsung Banding
Hukumonline

 

Putusan hakim ini sesuai dengan dakwaan primair jaksa yang menjerat Aseng dan Winny dengan Pasal 311 Ayat (1) KUHP. Lantaran dakwaan primair terbukti, hakim tak lagi mempertimbangkan dakwaan subsidair jaksa Pasal 310 Ayat (2) KUHP tentang pencemaran nama baik secara tertulis.

 

Pasal 311

(1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk

membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan

bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana

penjara paling lama empat tahun.

 

Pasal 310

(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

 

Pada pertimbangan hukumnya, menyatakan tindakan Aseng dan Winny yang menulis surat pembaca telah terbukti memenuhi rumusan Pasal 311 khususnya mengenai pencemaran atau penistaan secara tertulis.

 

Unsur lain yang tak kalah penting dari Pasal 311 itu ialah ketidakmampuan seorang pelaku untuk membuktikan apa yang dituduhkannya adalah suatu kebenaran. Menurut hakim, unsur ini juga terbukti dilakukan oleh Aseng dan Winny. Hakim berpedoman pada surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan kepolisian terhadap Direktur Utama PT Duta Pertiwi dengan alasan tidak adanya tindak pidana yang dilakukan.

 

Untuk mengingatkan, Aseng dan Winny adalah pemilik kios di ITC Mangga Dua, Jakarta. Mereka berdua mengirimkan surat pembaca ke harian Kompas dan Suara Pembaruan yang isinya mengeluhkan sikap PT Duta Pertiwi selaku pengembang ITC Mangga Dua.

 

Keluhan itu bermula ketika Aseng dan Winny ingin memperpanjang status Hak Guna Bangunan (HGB) lahan kios mereka. Mereka terkejut saat mendengar informasi bahwa status tanah itu adalah HGB di atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Pemprov DKI Jakarta. Padahal sebelumnya mereka mengaku mendapat informasi dari PT Duta Pertiwi bahwa tanah itu berstatus HGB murni.

 

Aseng dan Winny bersama beberapa rekannya tak tinggal diam. Mereka sempat melaporkan PT Duta Pertiwi ke Polda Metro Jaya atas tuduhan penipuan terhadap konsumen. Setelah itu, mereka berdua membikin surat pembaca untuk menuangkan uneg-unengnya masing-masing. PT Duta Pertiwi sebenarnya sempat membalas surat pembaca yang dibuat Aseng. Namun itu saja tak cukup. PT Duta Pertiwi juga menggugat Aseng, Winny dkk secara perdata dan juga melaporkan ke Mabes Polri atas tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik.

 

Aseng dan Winny kekeuh merasa tidak bersalah dalam perkara ini. Usai pembacaan putusan, mereka kompak langsung menyatakan banding atas putusan hakim.

 

Semua pleidoi rontok

Kekecewaan Hendra boleh jadi makan bertambah ketika hakim menolak semua argumen yang tertuang dalam nota pembelaan (pleidoi) dan eksepsi. Mengenai siapa yang harus bertanggung jawab atas pemuatan surat pembaca misalnya. Hakim mengutip pendapat ahli anggota Dewan Pers, Leo Batubara yang menyatakan jika surat pembaca mengandung tindak pidana, maka yang bertanggung jawab adalah redaksi dan si penulis surat pembaca. Artinya, penulis surat pembaca juga bisa dimintai pertanggungjawaban, simpul hakim.

 

Argumen lain yang dimentahkan hakim adalah soal ‘kepentingan umum' yang melandasi pembuatan surat pembaca. Menurut hakim, mengacu pada bukti dan fakta di persidangan, orang yang merasa ‘dirugikan' dalam kasus ‘HGB di atas HPL' tak sebanding dengan orang yang menerima kasus itu. Hanya ada 20 orang. Sementara ribuan orang lainnya tak keberatan.

 

Pada bagian lain, hakim sempat menyinggung mengenai bisa tidaknya suatu badan hukum menjadi korban pencemaran nama baik atau fitnah. Hakim sempat mengutip Putusan MA No 68 K/Kr/1973 tanggal 16 Desember 1976. Menurut hakim, berdasarkan putusan itu, suatu badan hukum bisa menjadi korban pencemaran nama baik. Bukan hanya orang pribadi.

 

Sekadar informasi, yang menjadi terdakwa dalam putusan MA itu adalah Koesnin Faqih. Pengadilan Negeri di Jakarta Utara-Timur menghukum Koesnin dengan penjara selama tiga bulan dengan masa percobaan 7 bulan karena dianggap bersalah melakukan penghinaan ringan sesuai Pasal 315 KUHP. 

 

Bentuk penghinaan yang dilakukan Koesnin adalah mengirimkan surat ke sejumlah relasi Achmad Nasri atau PT Tjahaja Negeri yang isinya adalah Bahwa PT Tjahaja Negeri telah ditutup terdakwa, dan apabila mau menyaksikan kematian PT Tjahaja Negeri tersebut supaya datang, dan juga menyatakan bila ada barang-barang yang dipinjamkan oleh PT Bank Gemary atau barang-barang tanggungan PT Tjahaja Negeri agar segera diangkut demi keamanan barang-barang tersebut. Sayang, tak disebutkan secara jelas siapa yang disebut sebagai ‘terdakwa' dalam surat Koesnin itu.

 

Atas putusan itu Koesnin mengajukan banding. Di tingkat banding, putusan tingkat pertama dikuatkan. Koesnin lantas mengajukan kasasi.

 

Majelis hakim kasasi yang diketuai Prof Oemar Seno Adji memutuskan untuk membatalkan Putusan PT DKI Jakarta. Hal ini karena berdasarkan UU Darurat No 1 Tahun 1951 jo UU No 1 Tahun 1961, untuk perkara yang menimpa Koesnin tak bisa diajukan banding. Meski begitu, hakim kasasi tetap menghukum Koesnin untuk membayar biaya perkara di semua tingkat peradilan. Pada bagian pertimbangan hukumnya, majelis kasasi tak menyinggung secara eksplisit mengenai bisa tidaknya badan hukum menjadi korban penghinaan.

Kami akan ajukan banding karena pertimbangan putusan yang dibacakan tadi melabrak logika, teriak Hendrayana, Direktur LBH Pers di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Rabu (15/7). Hendra, demikian ia disapa, tidak sedang memimpin unjuk rasa. Ia hanya menumpahkan kekesalannya atas putusan majelis hakim kepada dua kliennya, Khoe Seng Seng (Aseng) dan Kwee Meng Luan (Winny).

 

Sebelumnya, majelis hakim pimpinan Robinson Tarigan menjatuhkan hukuman percobaan kepada Aseng dan Winny dalam persidangan terpisah. Pada amar putusannya, hakim menjatuhkan vonis 6 bulan penjara jika dalam masa percobaan selama satu tahun, mereka berdua melakukan tindak pidana.

 

Dengan putusan seperti ini, Aseng dan Winny tak harus langsung mendekam di penjara. Beda hal bila dalam masa percobaan selama setahun itu mereka melakukan tindak pidana, maka petugas kejaksaan akan segera menginapkan mereka di penjara selama 6 bulan.

 

Sebenarnya bukan jenis hukuman apa yang membuat Hendra kesal. Ia kecewa lantaran hakim menilai tindakan Aseng dan Winny yang membuat surat pembaca telah terbukti memfitnah PT Duta Pertiwi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: