DPD Akan Ajukan Uji Materi UU MD3 Hasil Revisi
Berita

DPD Akan Ajukan Uji Materi UU MD3 Hasil Revisi

Lantaran banyak yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No.92/PUU-X/2012.

RFQ
Bacaan 2 Menit
DPD Akan Ajukan Uji Materi UU MD3 Hasil Revisi
Hukumonline
Pasca disetujuiya Revisi UU No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) menjadi UU pada Selasa (8/7), sejumlah kalangan berencana melakukan uji materi. Setelah sebelumnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI akan melakukan hal sama. Ada sejumlah alasan mengapa langkah hukum tersebut ditempuh.

“DPD akan melakukan sengketa kewenangan atau judicial review dan mungkin ada potensi terhadap UU yang diputusan MK, dan dengan sendirinya cacar formal,” ujar Ketua DPR Irman Gusman kepada wartawan di Gedung DPD, Jakarta, Selasa (15/7).

Respon DPD memang terkesan lamban. Namun setidaknya langkah hukum tersebut sebagai bentuk ‘perlawanan’ akibat beberapa hal tidak sesuai dengan ketentuan UUD 1945 dan putusan Mahkamah Konstitusi No.92/PUU-X/2012.

Sebagaimana diketahui, DPD tahun lalu mengajukan uji materi UU MD3 ke MK. Inti putusan itu antara lain, melibatkan DPD dalam pembahasan setiap UU. Dalam putusan MK tersebut bahwa rumusan Pasal 72 huruf c menyebutkan, “Membahas rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat, dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan presiden”.

Namun sayangnya, rumusan Pasal 72 huruf c UU MD3 hasil revisi belum mengakomodasi bila terdapat RUU yang diajukan DPD. Dia berpendapat RUU yang diajukan DPR tidak akan dilakukan pembahasan oleh DPR dan presiden. Menurutnya, tidak diikut sertakan DPD justru bertentangan dengan putusan MK tersebut.

“Ini yang terjadi pada praktik selama ini, sampai dengan saat ini 48 RUU dari DPD tak satupun yang ditindaklanjuti DPR,” ujarnya.

Selain itu, Pasal 171 sampai dengan 172 dinilai tidak sesuai dengan putusan MK. Pasalnya dalam pengambilan keputusan di tingkat II, hanya dilakukan oleh DPR dan pemerintah. Padahal jika merujuk pada putusan MK, DPD tetap dilibatkan dalam pembahasan hingga pengambilan keputusan terutama berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah hingga pengelolaan sumberdaya ekonomi lainnya.

Lebih jauh Irman mengatakan, MK dalam putusan menyatakan DPR memiliki fungsgi legislasi, anggaran dan pengawasan. Oleh sebab itulah semestinya fungsi DPD dirumuskan sesuai dengan pendapat MK. Namun berbeda halnya dengan Pasal 251 tidak menyebutkan gamblang fungsi DPD sebagaimana putusan MK.

Menurutnya, UU MD3 hasil revisi belum singkron dalam merumuskan kedudukan MPR, DPR, dan DPD. Ia beralasan jika merujuk pada rumusan mengenai kemandirian dalam menyusun anggaran yang dituangkan dalam program dan kegiatan MPR dan DPR. Namun tidak halnya dengan DPD. Menurutnya, rumusan  khusus DPD masih sama dengan ketentuan Pasal 225 ayat (1) UU No.27 Tahun 2009.

Selain itu, alat kelengkapan berupa Mahkamah Kehormatan bagi DPR berbeda dengan DPD. Menurutnya DPD masih mengacu pada rumusan UU No.27 Tahun 2009. Dengan kata lain, DPD masih menggunakan Badan Kehormatan. “Apa yang membedakan Mahkamah Kehormatan dengan Badan Kehormatan DPD, padahal sama-sama lembaga perwakilan, ini yang harus disesuaikan,” ujarnya.

Anggota DPD dari Nusa Tenggara Barat Farouk Muhammad menambahkan awalnya tak mengira akan disahkan Revisi UU No.27 Tahun 2009 menjadi UU dalam masa sidang kali ini. Pasalnya masih terdapat sejumlah pasal yang perlu dilakukan pembahasan mendalam. Ia menilai pengesahan dinilai tergesa-gesa. Namun ia menggaris bawahi, sejumlah pimpinan Pansus menjanjikan putusan MK akan masuk dalam Revisi UU No.27 Tahun 2009.

“Tapi ternyata tidak seakurat mungkin dan sejeli mungkin. Makanya keluarnya (UU MD3 hasil revisi, red) seperi itu,” tukasnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Pansus RUU MD3 Fahri Hamzah mempersilakan siapapun melakukan uji materi ke MK. Menurutnya, hak warga negara melakukan uji materi sebuah UU. Apalagi dijamin oleh konstitusi persamaan di depan hukum. Ia berpendapat upaya uji materi diberikan kepada setiap masyarakat sepanjang memiliki legal standing sesuai UU dan konstitusi.

“Itu tidak ada masalah, silakan saja,” pungkasnya beberapa waktu lalu.
Tags:

Berita Terkait