DPR Setujui Amandemen Undang-Undang Anti Pencucian Uang
Utama

DPR Setujui Amandemen Undang-Undang Anti Pencucian Uang

Pembahasan maraton selama sembilan hari atas RUU Perubahan UU No.15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang oleh DPR dan pemerintah berakhir. Hari ini, Selasa (16/09), rapat paripurna DPR menyetujui RUU tersebut untuk disahkan menjadi undang-undang.

Amr
Bacaan 2 Menit
DPR Setujui Amandemen Undang-Undang  Anti Pencucian Uang
Hukumonline
Pembahasan RUU yang cepat tersebut diakui oleh Ketua Komisi II A. Teras Narang. Menurut Teras, RUU tersebut mulai dibahas oleh Komisi II dan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra pada 3 September dan berakhir pada 12 September 2003. "Panja (Panitia Kerja, red) bekerja secara maraton siang dan malam," ujarnya.

Poin perubahan

Dalam kesempatan yang sama, Kepala PPATK Yunus Hussein mengatakan bahwa dengan disetujuinya perubahan UU No.15/2002, berarti Indonesia telah memenuhi rekomendasi dari FATF. Selanjutnya, tinggal menunggu formalitas berupa pengesahan undang-undang tersebut oleh Presiden. "Mudah-mudahan mereka (FATF,red) dapat mengakui perkembangan ini," ucap Yunus kepada wartawan di gedung DPR.

Sebelumnya, sembilan fraksi di DPR memberikan penegasan pada beberapa ketentuan dalam RUU Perubahan UU No.15/2002. Khususnya mengenai peningkatan kerja sama internasional, perluasan cakupan penyedia jasa keuangan, perluasan pengertian transaksi mencurigakan dan tindak pidana asal, serta penghapusan batasan minimal uang hasil tindak pidana.

Juru bicara dari F-PPP Saiful Rahman mengatakan perluasan pengertian penyedia jasa keuangan maupun transaksi keuangan yang mencurigakan adalah untuk mengantisipasi modus kejahatan pencucian uang di masa datang. Mengenai dihapusnya batasan minimal uang hasil tindak pidana sebesar Rp500 juta, Saiful mengatakan ketentuan itu bertentangan dengan prinsip umum hukum pidana.

"Berapapun besarnya uang hasil tindak pidana, maka itu tetap dapat dipidana dengan undang-undang," cetus Saiful. Ia juga menyampaikan bahwa Undang-Undang Anti Pencucian Uang yang baru telah menambahkan sembilan tindak pidana asal yang uang hasil kejahatannya itu dapat dikategorikan uang haram.

Kesembilan tindak pidana asal (predicate crime) yang ditambahkan ke dalam RUU adalah pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, serta tindak pidana di bidang perpajakan, kehutanan, lingkungan hidup, kelautan, dan tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara empat tahun atau lebih.

Di luar itu, sebagian besar anggota DPR meminta agar pemerintah segera melakukan sosialisasi RUU kepada masyarakat luas. Hal itu bertujuan agar tidak timbul kesalahpahaman masyarakat yang selama ini melakukan transaksi di berbagai penyedia jasa keuangan.

Wakil dari F-PDIP Trimedia Panjaitan mengatakan bahwa setiap transaksi yang dianggap mencurigakan belum tentu tindak pidana. Oleh karena itu, kata Trimedia, masyarakat tidak perlu khawatir dengan transaksi yang mereka lakukan selama ini, berapapun besarnya, asalkan memiliki dasar yang jelas sah.

Kepada wartawan, Teras mengatakan bahwa selama pembahasan RUU tersebut DPR dan pemerintah banyak mendapat masukan dari Kepala Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein yang juga diikutsertakan. Ia juga menegaskan bahwa perubahan terhadap UU No.15/2002 dilakukan demi kepentingan nasional dan bukan karena tekanan pihak asing.

Penekanan yang sama juga diberikan oleh Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra. Yusril mengatakan bahwa perubahan karena UU No.15/2002 dalam pelaksanaannya tidak mampu menampung aspirasi masyarakat, tidak sesuai dengan kaidah-kaidah hukum pidana, serta belum memenuhi standar internasional.

Mengenai tudingan bahwa ada tekanan asing khususnya AS di balik amandemen UU No.15/2002, Yusril mengatakan bahwa Indonesia hidup dalam satu dunia yang sangat global dan ada ketergantungan antara satu negara dengan negara yang lain. "Dan tidak mungkin suatu negara dapat membenahi persoalan ekonomi dalam negerinya tanpa kerja sama dengan dunia internasional," kata Yusril.

Yusril juga berharap dengan direvisinya UU No.15/2002, Indonesia akan segera dikeluarkan dari daftar Non Cooperative Country and Territories (NCCT's) oleh Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF).

"Kalau kita tetap dalam status seperti itu akan ada sanksi yang bisa terjadi pada kita, misalnya eksportir kita tidak bisa membuka L/C di luar negeri, bank-bank kita tidak dipercaya oleh bank-bank di luar negeri, dan juga akan menghambat arus investasi dari luar ke Indonesia," demikian Yusril.

Tags: