Dua Hakim Bandung Jadi Tersangka Korupsi Bansos
Berita

Dua Hakim Bandung Jadi Tersangka Korupsi Bansos

ICW mendesak MA dan KY agar hakim yang terima suap jangan berhenti di sanksi administrasi.

NOV
Bacaan 2 Menit
Juru Bicara KPK Johan Budi. Foto: SGP
Juru Bicara KPK Johan Budi. Foto: SGP
KPK kembali menetapkan dua orang hakim sebagai tersangka dalam kasus suap penanganan perkara Bantuan Sosial (Bansos) Pemerintah Kota Bandung, Jawa Barat. Kedua hakim itu adalah hakim ad hoc Pengadilan Negeri Bandung, Ramlan Comel (RC) dan hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat, Pasti Serefina Sinaga (PSS).

Juru Bicara KPK Johan Budi mengungkapkan, penyidik telah menemukan dua alat bukti yang cukup untuk menyimpulkan keterlibatan Ramlan dan Pasti dalam kasus korupsi penanangan perkara Bansos yang juga melibatkan hakim Setyabudi Tejocahyono. “Penyidik akhirnya mengeluarkan Sprindik atas nama PSS dan RC,” katanya, Rabu (5/3).

Ia melanjutkan, Ramlan dan Pasti diduga melanggar Pasal 12 huruf a, huruf c, Pasal 6 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), atau Pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Penetapan tersangka Ramlan dan Pasti merupakan pengembangan dari kasus Hakim Setyabudi, manta Walikota Bandung Dada Rosada, Herry Nurhaya, dan Toto Hugalaung.

Sebelumya, Pengadilan Tipikor Bandung telah menghukum Setyabudi dengan pidana penjara selama 12 tahun. Ramlan saat menjadi saksi untuk Setyabudi di persidangan sempat mengaku pernah menerima fasilitas hiburan karaoke dan spa dari mantan hakim Setyabudi Tedjocahyono. Namun, membantah menerima uang dari Toto.

Ramlan menyatakan dirinya diajak ke Venetian Spa and Lounge Karaoke Excecutive Paskal Hyper Square Bandung sebanyak dua kali oleh Setyabudi. Ia tidak mengatahui maksud dari ajakan Setyabudi tersebut, karena awalnya Setyabudi hanya mengajak makan bersama. Tiba-tiba, selain Setyabudi, ada Toto di tempat karaoke.

Meski demikian, Ramlan membantah telah menerima uang dalam penanganan perkara Bansos. Ia menegaskan tidak pernah menerima uang AS$53 ribu, AS$75 ribu, dan Rp300 juta dari Toto. Uang itu diduga untuk pengurusan banding perkara dana Bansos Pemkot Bandung Tahun Anggaran 2009-2010 di tingkat Pengadilan Tinggi Jawa Barat.

Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) bertindak tegas dan tidak berkompromi terhadap para hakim yang terliba suap. ICW berharap para hakim ini diproses secara hukum, tidak berhenti hanya di sanksi adminisrasi.

"(ICW) Mendesak Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk mendorong perkara korupsi yang dilakukan oleh hakim ke proses hukum. Sanksi administratif tetap perlu dilakukan, tapi juga harus mendorong perkara tersebut ke proses hukum," sebut Wakil Koordinator ICW Agus Sunaryanto dalam rilis pers.

Agus menilai tanpa ketegasan MA dan KY dalam menghukum para hakim yang terlibat suap dan meneruskan kasusnya diproses hukum akan menjadi preseden buruk bagi upaya pemberantasan korupsi. Ia mencontohkan sejumlah kasus hakim penerima suap tidak dilanjutkan ke proses hukum untuk perkara suap.

Kasus Hakim Pengadilan Negeri Mataram Pastra Joseph Ziraluo yang dihukum oleh Majelis Kehormatan Hakim (MKH), yang terdiri dari Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, karena menerima suap sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) pada 25 Februari 2014.

Pastra dihukum tidak boleh melakukan sidang selama 6 (enam) bulan dan tidak menerima remunerasi sebagai hakim selama menjalani hukuman. Hukuman Pastra diringankan karena yang bersangkutan telah mengembalikan suap sebesar Rp20 juta tersebut. Selain suap kepada Pastra, Hakim Pengadilan Negeri Denpasar, Putu Swika juga sudah dipecat karena menerima suap.

Pada tahun 2010, MKH juga menjatuhkan hukuman kepada Hakim Pengadilan Negeri Sleman, Anton Budi Santoso atas percobaan menerima suap sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), berupa hukuman gantung palu selama 2 (dua) tahun dan tidak menerima remunerasi selama masa hukuman tersebut.
Tags:

Berita Terkait