Evaluasi Pilkada 2015, Apa yang Masih Kurang ya?
Berita

Evaluasi Pilkada 2015, Apa yang Masih Kurang ya?

Komnas HAM, KPU, Bawaslu, dan Perludem membahas pelaksanaan pilkada 2015. Masih ada pekerjaan rumah ke depan.

ADY
Bacaan 2 Menit
Evaluasi Pilkada 2015, Apa yang Masih Kurang ya?
Hukumonline
Penyeleggaraan pilkada serentak 2015 secara umum berjalan baik. Begitu pula penyelesaian sengketanya di Mahkamah Konstitusi, bersih dari  intervensi. Penilaian itu datang dari Komnas HAM dan Mahkamah Konstitusi.

Komnas HAM telah melakukan pemantauan Pilkada serentak 2015 di 17 daerah seperti Sumatera Utara, Banten, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tengara Timur, Maluku dan Papua. Ketua Tim Pemantauan Pilkada 2015 Komnas HAM, Dianto Bachriadi, menilai secara umum Pilkada serentak 2015 yang diselenggarakan di 269 daerah berjalan baik. Namun pelaksanaan Pilkada 2015 belum sepenuhnya memenuhi prinsip-prinsip HAM seperti bebas (free), berkeadilan (fair), berkala (periodic) dan tidak manipulatif (genuine).

Dianto mengatakan ada sejumlah temuan di lapangan yang perlu dibenahi ke depan dan layak dimasukkan dalam revisi UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Di antaranya terkait pendataan pemilih karena ditemukan ada pemilih yang tidak bisa menggunakan haknya untuk memilih dalam Pilkada 2015. Itu dialami oleh warga yang bekerja di luar negeri (TKI). Alih-alih memfasilitasi warganya yang berada di luar negeri itu untuk menggunakan hak pilihnya, KPU daerah malah menghapus hak warganya untuk memilih.

“Komnas HAM mengusulkan  perubahan kebijakan dan peraturan tentang pilkada. Salah satunya berkaitan dengan pendataan pemilih, perlu ada perbaikan dan memperketat pendataan untuk mencegah manipulasi jumlah daftar pemilih tetap (DPT) dan bisa memfasilitasi warga (pemilih) yang berada di luar daerah,” kata Dianto dalam diskusi di kantor Komnas HAM di Jakarta, Senin (14/3).

Dari 269 daerah yang melaksanakan Pilkada 2015, ada 5 daerah yang tertunda pelaksanaannya karena ada putusan PTUN terkait sengketa pencalonan. Akibatnya, kata Dianto, penyelenggaraan Pilkada di beberapa daerah harus menunggu putusan PTUN seperti di Simalungun dan Siantar. Untuk itu ia mengusulkan agar proses gugatan sengketa Pilkada di PTUN ditata ulang sehingga selaras dengan pelaksanaan Pilkada.

Komisioner DKPP, Saut Hamonangan Sirait, berpendapat ada sejumlah modus pelanggaran yang ditemui dalam Pilkada 2015 yang mengancam hak warga negara. Di antaranya soal pendataan pemilih yang tercantum dalam DPT. Putusan MK tahun 2003 mengamanatkan salah satu hak yang harus dijamin dalam pelaksanaan Pemilu yakni pemenuhan hak untuk memilih dan dipilih. “Kalau pemenuhan hak itu dilanggar maka masuk kategori pelanggaran HAM,” ujarnya.

Dalam Pilkada serentak 2015 Saut tidak menemukan DPT karena data pemilih selalu berubah-ubah. Padahal, harus ada kepastian bagi warga apakah dia punya hak pilih atau tidak dalam Pilkada.

Peneliti Perludem, Fadhli Ramadhani, menilai pemutakhiran daftar pemilih yang digunakan pada Pilkada serentak 2015 yakni penggabungan DP4 dari Kementerian Dalam Negeri dan DPT Pilpres 2014. Alhasil, ada daftar pemilih ganda, pemilih tidak terdaftar dan pemilih yang mestinya tidak terdaftar tapi masuk dalam daftar. “Kami mengusulkan pemutakhiran daftar pemilih bersumber dari DPT terakhir dan DP4 jadi penambah dan pembanding saja,” usulnya.

Fadli menyoroti meningkatnya syarat yang dikenakan kepada calon perseorangan pada Pilkada serentak 2015. Misalnya, calon harus mendapat dukungan yang dibuktikan dengan cara mengumpulkan fotokopi KTP sebanyak dua kali lipat dari aturan sebelumnya, dan konflik kepengurusan partai politik di tingkat pusat mengakibatkan kader parpol kesulitan mengajukan diri jadi calon.

Ketua Bawaslu RI, Muhammad, berpendapat hak paling dasar dalam Pemilu/Pilkada itu bukan saja hak untuk memilih dan dipilih tapi juga menjamin suara pemilih di TPS sama dengan yang ditampilkan KPU. Artinya, suara pemilih dilindungi dan tidak ada manipulasi dalam penghitungannya dari tingkat bawah sampai atas.

Muhammad juga menegaskan calon tunggal tidak boleh kehilangan haknya untuk dipilih karena dia tidak punya pesaing. Menurut Muhammad putusan MK sudah sangat jelas tentang daerah yang hanya memiliki calon tunggal boleh menggelar Pilkada. “Untuk itu revisi UU No. 8 Tahun 2015 harus mengatur lebih rinci tentang pelaksanaan putusan MK itu, bagaimana tata cara dan mekanismenya,” ujarnya.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Husni Kamil Manik, berpendapat regulasi ikut mempengaruhi ketidakakuratan data pemilih. Aturan yang berlaku pada Pemilu Legislatif dan Presiden 2014 dengan Pilkada 2015 berbeda. Misalnya, dalam aturan Pilkada, pemilih yang mengalami masalah hilang ingatan tidak bisa masuk DPT.

Selain itu, pemilih hanya bisa menggunakan hak pilihnya secara langsung di TPS tempat Pilkada digelar di daerah tempat domisili pemilih. Jika pemilih tidak pulang ke daerahnya maka dia tidak bisa menggunakan hak pilihnya dari daerah lain. Itulah sebabnya kenapa warga yang menjadi TKI tidak bisa difasilitasi pemenuhan haknya untuk memilih dalam Pilkada 2015.

Namun sekalipun pemilih yang tidak masuk DPT dia bisa menggunakan hak pilihnya dengan cara menyambangi langsung TPS dan menunjukkan identitas diri. Untuk 5 daerah yang pelaksanaan Pilkada 2015 ditunda karena ada putusan PTUN, menurut Husni itu tidak menghilangkan hak pemilih di daerah itu untuk menggunakan hak pilihnya. “Haknya tidak hilang, tapi hanya tertunda saja. Penundaan itu karena ada perintah pengadilan (PTUN),” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait