Harus Ada Perbaikan Regulasi Industri Gas
Berita

Harus Ada Perbaikan Regulasi Industri Gas

Perbaikan tata kelola industri migas juga terkait kelembagaan regulator.

KAR
Bacaan 2 Menit
Foto: http://indonesiangassociety.com/
Foto: http://indonesiangassociety.com/
Di masa depan, gas akan berperan besar dalam bauran energi global. Pasalnya, kebutuhan gas akan naik dari 20 persen di 2012 menjadi 24 persen di tahun 2040. Hal ini berbeda dengan kebutuhan minyak yang cenderung terus menurun. Hanya saja, di tengah peluang industri gas yang potensial itu masih tersisa sejumlah persoalan.

Menurut Wakil Ketua Indonesian Gas Society, Yenni Andayani tantangan bisnis gas tidak hanya dari meningkatnya kebutuhan dan permintaan. Ia menyebut, harga, pembangunan infrastruktur, dan regulasi gas juga perlu diperbaiki.

“Untuk perbaikan industri gas di Indonesia, peranan pemerintah sebagai regulator memegang kunci penting. Dalam hal ini harus ada perbaikan regulasi untuk mendukung pengembangan bisnis gas di Indonesia,” katanya di sela-sela acara IndoGas 2015 di Jakarta, Kamis (29/1).

Oleh karena itu, dia berharap pemerintah sigap menerbitkan regulasi-regulasi yang mampu mempermudah pengembangan bisnis gas yang diprediksi akan semakin marak. Ia menambahkan, pihaknya juga mendorong pemerintah untuk menyederhanakan perizinan, pajak dan biaya fiskal yang lebih menarik minat investor. Tak kalah penting, katanya, peran strategis pemerintah yang harus dioptimlkan adalah dalam penentuan harga yang lebih ekonomis.

“Pemerintah juga harus mampu mengembangkan strategi yang tepat untuk ketahanan energi nasional berkaitan dengan pemanfaatan gas,” tandas perempuan yang juga menjabat sebagai Direktur Energi Baru & Terbarukan PT Pertamina (Persero).

Senada dengan Yenni, Ketua Komite Tetap Hulu Migas Kadin, Firlie Ganinduto, mengatakan, tata kelola industri gas Indonesia harus segera diperbaiki. Ia menilai, selama ini tata kelola industri gas dalam negeri masih buruk. Celakanya, menurut Firlie, tata kelola yang buruk ini membuka peluang mafia migas masuk.

Berdasarkan analisisnya, Firlie melihat salah satu penyebabnya adalah terkait dengan kelembagaan regulator industri migas di Indonesia. Pertama, ia mengkritisi keberadaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Ia menyayangkan keberadaan SKK MIgas hanya sebagai wujud lain BP Migas yang mengganti nama dan logo instansi saja.

"SKK Migas ini hanya reinkarnasi dari BP Migas yang sudah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk dibubarkan," kata Firlie.

Menurutnya, keberadaan SKK Migas yang demikian itu membuat industri gas menjadi tak sehat. Pasalnya, SKK Migas tidak memiliki aset. Padahal, instansi ini menandatangani kontrak migas. Lalu, instansi ini dibiayai negara dalam operasionalnya. Tambahan lagi, SKK Migas juga tidak bisa melakukan penjualan migas sendiri. SKK Migas harus menggunakan pihak ketiga atau trader.

"Di sini potensi mafia masuk karena SKK Migas tidak bisa menjual minyak dan gas," kata dia.

Keberadaan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menurutnya juga menimbulkan masalah yang sama. Sebab, sebagai pengatur sektor hilir, badan tersebut tidak memiliki komoditas. Ia pun menyampaikan keheranannya, mengapa PT Pertamina kerap disalahkan dalam kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi, bukannya BPH Migas.

"Ini jelas ada tata kelola yang salah," kata dia.

Masalah lain terkait dengan kelembagaan pengatur industri migas adalah fungsi Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang tak kuat. Firlie beralasan, direktorat ini mengeluarkan regulasi, tapi tidak mengawasi. Akibatnya, pemerintah kehilangan peran strategis untuk melakukan mekanisme kontrol.
Tags:

Berita Terkait