HUT Adhyaksa ke-56, Ini Penilaian Koalisi Pemantau Peradilan
Berita

HUT Adhyaksa ke-56, Ini Penilaian Koalisi Pemantau Peradilan

Meski dianggap sebagai lembaga yang mandiri dan memiliki peran sentral dalam penegakan hukum, nyatanya Kejaksaan tetap menghadapi berbagai permasalahan.

RED
Bacaan 2 Menit
Tabel 1
Komposisi Pemohon Kasasi
 
Tabel 1 menunjukkan bahwa JPU adalah mayoritas Pemohon dalam kasasi pidana.
Tabel 2
Komposisi Amar Putusan Kasasi
 
Tabel 2 menunjukkan bahwa mayoritas amar putusan kasasi pidana umum dan pidana khusus adalah tolak. Hal ini menunjukkan dalam banyak perkara, Majelis Hakim belum melihat argumentasi JPU dalam memori kasasi meyakinkan untuk dikabulkan.

Tabel 3
Alasan Kasasi JPU

Tabel 3 menunjukkan bahwa terdapat 3 (tiga) alasan utama yang digunakan JPU dalam mengajukan kasasi, yaitu:a) Putusan judex factie memutus bebas;b) Putusan judex factie memutus lepas;c) Putusan judex factie memutus terdakwa terbukti bersalah tetapi hukuman yang dijatuhkan dipandang kurang sepadan, atau pengurangan hukuman yang dilakukan pengadilan Banding kurang pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd).

Dio mengakui, memang terdapat alasan-alasan pengajuan kasasi lainseperti status barang bukti, tepat tidaknya dakwaan yang dianggap terbukti oleh judex factie,dan sebagainya, tetapi jumlahnya tidak signifikan.

Alasan kasasi karena berat ringannya hukuman (besaran hukuman judex factie), dipengaruhi oleh kebijakan yang dikeluarkan Jaksa Agung pada tahun 1985. Jaksa Agung mengeluarkan kebijakan yang berlaku bagi para Jaksa untuk mengajukan upaya hukum banding maupun kasasi atas putusan-putusan judex factie yang hukumannya kurang dari 2/3 dari tuntutan, yaitu Surat Edaran Jaksa Agung  No. B-036/A/6/1985 tentang Petunjuk Untuk Penggunaan Upaya Hukum Banding dan Kasasi dalam Perkara Tindak Pidana Khusus.

Meskipun Surat Edaran tersebut menyatakan bahwa soal berat ringannya hukuman bukanlah satu-satunya parameter bagi JPU untuk mengajukan kasasi, dalam praktik banyak JPU yang semata-mata menjadikan hukuman yang dijatuhkan judex factie sebagai alasan utama pengajuan kasasi. “Tidak mengherankan jika hasil pada Tabel 1 menunjukkan mayoritas pemohon dalam kasasi pidana adalah JPU,” ujar Dio.

Selain itu, sambung Dio, JPU juga hampir selalu memohon kasasi atas putusan bebas atau lepas dan hal ini diduga karena kebijakan Kejaksaan. Pada akhirnya, Kejaksaan seakan-akan tidak memiliki mekanisme yang efektif untuk menyeleksi putusan-putusan mana yang layak untuk dikasasi.

Berkaitan dengan Korupsi, hal ini kaitannya dengan penanganan perkara korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan. Tercatat masih ada beberapa kasus korupsi yang menarik perhatian publik seperti kasus Setya Novanto dan Riza Chalid yang hingga kini belum ada kejelasan. Selain itu,masih banyak tunggakan eksekusi terhadap perkara-perkara korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan, seperti kasus BLBI.

“Penyelesaian kasus-kasus korupsi ini tentu akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Kejaksaan dalam penanganan kasus korupsi,” ujar Dio.

Selain soal penyelesaian perkara korupsi besar yang mandek, Kejaksaan juga perlu kembali memaksimalkan eksekusi terhadap putusan perkara korupsi, terutama soal pidana tambahan uang pengganti. Eksekusi tersebut penting untuk dilakukan guna memaksimalisasi pengembalian aset atau kerugian negara, namun hingga kini informasi terkait jumlah eksekusi perkara korupsi khususnya uang pengganti, masih belum terpublikasi secara jelas kepada publik.

Masih terkait pemberantasan korupsi, Kejaksaan juga diharapkan dapat menjadi tandem dan mitra KPK dan Kepolisian RI dalam penanganan perkara korupsi. Sudah saatnya pula Kejaksaan mulai serius menyasar perkara-perkara korupsi kelas kakap baik di tingkat nasional maupun daerah.

Berkaitan dengan pengawasan internal Kejaksaan dapat dilihat dari beberapa kasus korupsi yang diduga melibatkan aparatur Jaksa seperti 2 (dua) Jaksa dari Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dan Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, penggelapan aset korupsi yang dilakukan oleh Jaksa senior di Kejaksaan Tinggi NTT, dan dugaan suap yang melibatkan Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dan Asisten Tindak Pidana Khusus di Kejati DKI Jakarta. Hal ini menunjukkan fungsi pengawasan internal yang masih kurang efektif.

Terakhir,berkaitan dengan kewenangan penanganan perkara, Kejaksaan perlu memaksimalkan perannya sebagai pengendali perkara. Hal ini merupakan sebagai bentuk kontrol terhadap perkara yang ditangani guna menghilangkan masalah berlarut-larutnya proses suatu perkara. Hal ini juga dapat berfungsi sebagai saran kontrol terhadap potensi-potensi terjadinya kriminalisasi tanpa alasan yang jelas oleh Kepolisian.      

Oleh karena itu, KPP merekomendasikan agar; Kejaksaan melakukan perubahan aturan-aturan terkait mutasi dan promosi yang berorientasikan pada hasil kinerja; Kejaksaan melakukan perubahan terkait sistem anggaran yang berbasiskan kinerja; Kejaksaan memiliki mekanisme yang efektif untuk menyeleksi putusan-putusan mana yang layak untuk dikasasi; Kejaksaan segera mengimplementasikan Reformasi Birokrasi sesuai dengan profil Kejaksaan 2025 yang sudah dicanangkan.

Tags:

Berita Terkait