ICJR Kritik Pembahasan RUU Terorisme Tertutup
Berita

ICJR Kritik Pembahasan RUU Terorisme Tertutup

Tertutupnya sidang RUU Terorisme mengakibatkan tidak adanya pengawasan dan tertutupnya partisipasi aktif dari masyarakat. Alasannya sensitif menyoal pembahasan data penahanan kasus terorisme sebelumnya.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Penanganan aksi terorisme di Jakarta. Foto: RES
Penanganan aksi terorisme di Jakarta. Foto: RES
Panitia Kerja (Panja) Revisi Undang-Undang (RUU) No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme digelar secara tertutup pada Rabu (14/6) kemarin dan Kamis (15/6). Hal itu menuai kritik dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Padahal pembahasan sebuah RUU mestinya dilakukan secara terbuka. Dengan begitu melibatkan masyarakat dalam rangka  melakukan pemantauan pembahasan RUU.

Dalam pembahasan antara Panja dengan pemerintah membahas soal masa penahanan sebagaimana yang tertuang dalam draf RUU tersebut. “Padahal ini merupakan salah satu isu paling krusial yang seharusnya melibatkan partisipasi dan pengawasan oleh publik,” ujar peneliti ICJR, Erasmus Napitupulu melalui keterangan tertulisnya yang diterima Hukumonline.

Eras, begitu pria itu disapa, menilai aturan penahanan dalam RUU tersebut amatlah esesif. Pasalnya tidak berlandaskan prinsip sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana. Antara lain terkait dengan hak segera diajukan ke meja hijau agar diproses perkaranya. Nah lamanya waktu penahanan bertentangan dengan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

Masa penahanan sedemikian lama berujung berkuranganya hak dan pembatasan kemerdekaan yang berlebihan. Akibatnya mengabaikan pertimbangan prinsip hukum dan hak asasi manusia. ICJR, kata Eras, memaklumi perkara teroris merupakan kasus mudah dipecahkan. Namun demikian keinginan pemerintah menambah masa penanganan tidak didasarkan atas kajian maupun bukti kuat dalam rangka penambahan masa penahanan.

“Waktu total 450 hari masa penahanan hanya untuk proses penyidikan dan penuntutan sesungguhnya sangat berlebihan, mengingat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menginsyaratkan minimal 2 alat bukti untuk melakukan penahanan,” ujarnya mengingatkan. Baca Juga: Koalisi LSM Warning RUU Anti Teroris Mesti dalam Koridor Criminal Justice System

Lebih lanjut, Eras berpendapat merujuk Pasal 25 ayat (1) sampai dengan ayat (5) RUU Terorisme mesti disesuaikan dengan ketentuan KUHAP. Setidaknya, tak boleh pula melebihi ketentuan UU Terorisme yang berlaku saat ini. Atas dasar itulah pembahasan RUU tersebut mesti dilakukan terbuka. “Sehingga nantinya bisa ditarik kesimpulan mengapa diperlukan masa penahanan begitu panjang,” ujarnya.

Bagi penyidik memang masa penahanan menjadi persoalan penting. Namun tidak kemudian pembahasan sensitif mesti digelar secara tertutup. Tertutupnya sidang pembahasan RUU Terorisme mengakibatkan tidak adanya pengawasan dan tertutupnya partisipasi aktif dari masyarakat. Karena itu, ICJR menilai tidak ada dasar yang cukup kuat untuk menutup pembahasan masa penahanan dalam RUU Terorisme. “Pembahasan harus terbuka,” ujarnya.

Anggota Panja RUU Terorisme, Arsul Sani mengatakan pemerintah meminta pembahasan dilakukan secara tertutup. Alasannya, karena yang dibahas terkait dengan persoalan penahanan. Sebab, pemerintah meminta aturan masa penahanan dilakukan perpanjangan. “Nah, ketika pemerintah minta diperpanjang, kita bertanya, alasannya itu apa?” ujarnya.

Menjawab pertanyaan Panja, pemerintah pun menyodorkan sejumlah data. Termasuk mempresentasikan sejumlah kasus terorisme. Menurut Arsul, penjelasan data dan sejumlah kasus terorisme yan dipresentasikan pemerintah menjadi hal yang cukup sensitif. “Nah itu kan sensitif. Karena itu dia (pemerintah) meminta tertutup,” ujarnya.

Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) itu mengakui memang pihak yang meminta agar pemerintah tidak menjelaskan berdasarkan perspektif kualititatif pada rapat sebelumnya. Namun, juga penjelasan dikuatkan dengan data kuantitatif. Itu sebabnya pemerintah menyiapkan berbagai data ke Panja RUU Terorisme.

Namun, Arsul memastikan pembahasan RUU Terorisme pada bagian hak korban, rehabilitasi korban serta pengawasan dapat dilakukan terbuka. Sedangkan pembahasan menyoal peran TNI dalam RUU Terorisme boleh jadi kembali digelar secara tertutup.

“Makanya karena saya yang minta maka pemerintah menyiapkan data-data yang ada. Kalau saya justifikasi. Nanti kalau (pemnbahasan) kembali soal rehabilitasi korban, soal pengawas bisa terbuka lagi. Tapi soal TNI akan tertutup (lagi),” pungkasnya. Baca Juga: Cegah Aksi Teror, Presiden Minta Revisi UU Terorisme Segera Rampung
Tags:

Berita Terkait