Ini Pandangan Mantan Hakim MK tentang Perppu Pilkada
Utama

Ini Pandangan Mantan Hakim MK tentang Perppu Pilkada

Polemik pilkada langsung atau tidak langsung cukup diselesaikan di MK melalui pengujian UU Pilkada.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Hakim konstitusi MK, Harjono (kanan) saat masih menjadi hakim MK. Foto: SGP
Hakim konstitusi MK, Harjono (kanan) saat masih menjadi hakim MK. Foto: SGP
Beberapa mantan hakim konstitusi pesimis atas rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), yang di dalamnya mengakomodasi pilkada langsung oleh rakyat dengan sejumlah perbaikan.

“Saya belum seketika optimis, karena Koalisi Merah Putih (KMP) di DPR belum tentu memberikan persetujuan karena sesuai konstitusi Perppu harus mendapatkan persetujuan bersama DPR,” ujar mantan hakim MK, Laica Marzuki saat dihubungi di Jakarta, Rabu (1/10).

Laica memprediksi jika Perppu Pilkada Langsung tetap diterbitkan, lalu dibawa ke Senayan, besar kemungkinan ditolak DPR. Sebab, dari sisi politik praktis komposisi kursi DPR didominasi KMP yang tetap menginginkan pilkada melalui DPRD, seperti dalam pengesahan RUU Pilkada menjadi UU Pilkada kemarin.

“Melihat perimbangan komposisi jumlah anggota DPR yang didominasi KMP, pengajuan Perppu itu akan tersendat, mungkin DPR tidak akan menerima Perppu itu. Ini dari sisi politik praktis, saya belum melihat adakeadaan kegentingan yang memaksa,” ujar Laica.

Jika sebuah Perppu tidak mendapatkan persetujuan bersama antara presiden dan DPR, kata Laica, pembahasan Perppu itu harus dihentikan dalam persidangan berikutnya. Sebaliknya, jika Perppu mendapat persetujuan bersama, maka UU Pilkada yang telah disahkan sebelumnya menjadi tidak berlaku.

Menurutnya, Presiden SBY belum perlu untuk mengeluarkan Perppu Pilkada meskipun itu kewenangannya. Laica justru menyarankan agar polemik pilkada langsung atau tidak langsung cukup diselesaikan di MK melalui pengujian UU Pilkada yang saat ini sudah banyak dipersoalkan sejumlah elemen masyarakat. “Sebaiknya cukup pengujian UU Pilkada di MK,” kritiknya.

Sejak pengesahan RUU Pilkada Jum’at dini hari (26/9) lalu, sejumlah elemen masyarakat ramai-ramai mendaftarkan pengujian UU Pikada ke MK. Pertama, permohonan yang diajukan enam warga negara dan empat organisasi nonpemerintah. Permohonan kedua diajukan advokat senior OC Kaligis. Permohonan ketiga diajukan 13 warga negara. Permohonan keempat diajukan 17 buruh harian dan lembaga Survei yang diwakili Kuasa Hukumnya Andi M Asrun. Permohonan kelima diajukan elemen masyarakat Poso. Jumlah permohonan diperkirakan akan bertambah.

Mantan Hakim MK, Harjono, yang menilai persetujuan pengajuan Perppu Pilkada tergantung KMP yang mendominasi di DPR. Namun, dia memperkirakan Perppu Pilkada bakal sulit lolos dari Senayan. Butuh lobi yang kuat antara pemerintah dan DPR. “Pengajuan Perppu ini belum pasti berjalan mulus. Mungkin saja dibatalkan prosesnya di DPR,” kata Harjono.

Mantan Hakim MK lainnya, Maruarar Siahaan menyarankan agar persoalan ini cukup diselesaikan lewat pengujian UU Pilkada di MK. Sebab, kekuatan KMP di DPR periode berikutnya belum berubah. Dia justru mempertanyakan kenapa presiden SBY tidak menggunakan wewenangnya saat proses pembahasan hingga persetujuan RUU Pilkada dalam rapat paripurna di DPR. “Waktu itu Mendagri hadir sebagai pembantu presiden, kalau muncul itu harusnya presiden bilang tidak berikan persetujuan,” katanya.

Ketua MK Hamdan Zoelva enggan untuk berkomentar lebih jauh mengenai rencana Presiden SBY mengeluarkan Perppu Pilkada. “Kalau mengenai Perppu saya tidak mau mengomentari. Kita serahkan kepada presidenlah yang punya kewenangan untuk mengeluarkan atau tidak mengeluarkan. Intinya saya tidak bisa menilai itu, saya tidak bisa berbicara politik,” kata Hamdan.

Sebelumnya, Rapat Paripurna DPR menyetujuiRUU Pilkada yang di dalamnya mengatur bahwa pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPRD. Keputusan ini sesuai dengan keinginan partai KMP. Partai pendukung Jokowi-JK yang menginginkan pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat tidak mampu berbuat apa-apa karena kalah suara dalam voting.

Partai Demokrat sendiri merasa opsinya yakni pilkada langsung dengan 10 syarat perbaikan tidak diakomodasi dalam Rapat Paripurna, sehingga partai itu memutuskan walkout.
Tags:

Berita Terkait