Ini Saran untuk MK Agar Kasus Akil Tak Terulang
Berita

Ini Saran untuk MK Agar Kasus Akil Tak Terulang

Harus transparan dalam penanganan perkara, khususnya sengketa Pilkada.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Mantan Ketua MK Akil Mochtar. Foto: RES
Mantan Ketua MK Akil Mochtar. Foto: RES
Kasus yang menjerat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar menjadi pembelajaran bagi semua lembaga peradilan dan penegak hukum. Lembaga konstitusi itu sempat berada di titik nadir ketika kasus Akil mencuat. Demi meminimalisir kejadian yang sama, keterbukaan dalam penananganan perkara, khususnya sengketa pemilihan kepala daerah harus menjadi kunci utama bagi MK. 

“MK harus  transparan dalam penanganan perkara, khususnya sengketa Pilkada,” ujar peneliti Indonesia Institute for Development and Democracy (Inded), Arif Susanto, di Jakarta, Senin (11/1).

Sejak Akil terlibat kasus suap, nahkoda MK beralih ke Hamdan Zoelva. Positifnya, MK mulai membangun sistem penyaringan. Misalnya, dalam kurun waktu tiga hari MK melakukan penyelidikan pendahuluan. Hasilnya, MK bakal memutuskan apakah perkara sengketa Pilkada dapat ditindaklanjuti masuk ke peradilan atau sebaliknya dihentikan  penanganannya. “Itu positif menurut saya,” ujarnya.

Tak hanya itu, putusan-putusan MK dalam penanganan kasus sengketa Pilkada mesti memberikan pesan ke DPR. Tujuannya, agar DPR segera melakukan revisi terhadap UU No.8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dengan begitu, hasil revisi terhadap UU yang baru diharapkan menjadi panduan dalam penyelenggaraan Pilkada yang berkualitas. Sebab, bila UU Pilkada masih dalam keadaan buruk, harapan publik dalam penyelenggaraan Pilkada akan menurun.

Koordinator Nasional (Kornas) Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Masykurudin Hafidz, berpandangan MK sudah melakukan persidangan secara terbuka. Makanya pemohon acapkali sudah mengetahui materi permohonan pemohon sengketa Pilkada sedari awal. Tak hanya itu, peran lembaga lain pun mesti kuat. Misalnya, KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu mesti menjaga independensi.

“Sehingga faktor yang menyebabkan seperti kasus Akil saya kira tidak akan terjadi. Karena ada instrumen-instrumen lain yang membuat kewenangannya tidak absolute,” ujarnya.

Dikatakan Hafidz, dengan adanya batasan selisih suara antara 0,5-2 persen dalam sengketa Pilkada menjadi positif. Pasalnya batasan persentase itu menghindari agar tidak lagi ada permainan seperti yang dilakukan oleh Akil Mochtar. “Jadi ada untungnya juga. Jadi batasan itu tidak bisa dijadikan mainan lagi,” ujarnya.

Koordinator Lingkar Madani Indonesia (Lima), Ray Rangkuti, berpandangan pengawasan terhadap hakim MK mesti diperketat agar tidak terjadi kasus seperti Akil. Menurutnya, pengawasan internal bila berjalan maksimal, kasus Akil sejatinya tak akan terjadi. Namun menjadi persoalan ketika hakim yang notabene kawan seprofesi melakukan pelanggaran didiamkan, tidak dilaporkan ke pengawasan etik.

“Persoalan hakim,  kita sering kali menutupi pelanggaran yang dilakukan kawan," katanya.

Menurutnya, ketika seorang hakim  mengetahui adanya gejala permainan yang dilakukan hakim lain, maka wajib melaporkan ke pengawasan etik. Sebab dengan begitu, maka MK dapat segera membentuk mahkamah kehormatan etik untuk memproses dugaan pelanggaran.

“Seperti yang dilakukan ketua MK terdahulu yakni Mahfud MD,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait