Karena Mahkamah Konstitusi Bukan Mahkamah Kalkulator
Utama

Karena Mahkamah Konstitusi Bukan Mahkamah Kalkulator

MK mesti berpikir progesif meski PMK No.5 Tahun 2015 hanya memberikan kewenangan bagi MK menangani sengketa perselisihan suara paling banyak 0,5 -2 persen.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Berlakunya Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No.5 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PMK No.1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Hasil Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Walikota dan Bupati justru mempersempit ruang gerak MK dalam penanganan perkara sengketa Pilkada. Lembaga konstitusi itu belakangan tak lagi menangani perkara dari sisi prosedur, namun juga substansi. Demikian intisari sebuah diskusi di Jakarta, Senin (11/1).

Koordinator Lingkar Madani Indonesia (Lima), Ray Rangkuti, berpandangan MK mestinya tak menangani perkara sebatas perselisihan hasil suara dalam Pilkada, namun lebih ke persoalan proses mendapatkan suara hasil Pilkada. Misalnya, MK mesti menguji proses hasil perhitungan suara yang diperoleh pemohon dan termohon. Menurutnya, MK tak saja menguji mekanisme perhitungan, tetapi instrumen apa saja yang digunakan dalam pelaksanaan Pilkada untuk mendapatkan perolehan suara.

Boleh jadi, kata Ray, termohon sengketa Pilkada di MK menggunakan cara yang tidak sesuai prosedur. Misalnya, termohon merupakan petahana yang menggunakan instrumen fasilitas saat masih menjabat kepala daerah, yakni menggunakan dana bantuan sosial (Bansos), birokrasi, politik uang, pegawai negeri sipil (PNS) yang dimobilisir untuk memilih petahana.

Cara seperti itu dinilai telah melanggar dan hasil suara layak dinyatakan tidak sah. Oleh sebab itu, MK tak saja menguji selisih perhitungan suara, namun juga cara perolehan suara. “Harusnya MK mengadili persoalan prosedur untuk memberikan keadilan substantif. Jadi MK harus membuka diri untuk mempersoalkan proses pelaksanaan Pilkada yang tidak sesuai konstitusi,” imbuhnya.

Ray berpandangan meski PMK No.5 Tahun 2015 itu memberikan kewenangan hanya menangani sengketa perselisihan suara paling banyak 0,5-2 persen, namun MK mesti berpikir progresif. Menurutnya, penyebab instrumen dalam memperoleh suara pemohon dan termohon mesti dibedah MK. Bukan tidak mungkin bakal terjadi banyak kecurangan dalam memperoleh suara di Pilkada. Kecurangan itulah yang menyebabkan perolehan suara menjadi tidak sah.

“Kalau MK menutup pintu proses pengujian tahapan perolehan suara yang berlaku jujur dan adil, maka yang terjadi akan muncul kekerasan. Misalnya, di Kalimantan Utara, kantor Gubernur digeruduk masyarakat. Kalau tidak dicermati, proses seperti ini akan muncul lagi di masyarakat. Jadi MK diharapkan memperhatikan proses orang mendapatkan suara, bukan hasilnya,” ujarnya.

Koordinator Nasional (Kornas) Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Masykurudin Hafidz, berpandangan PMK No.5 Tahun 2015 mempersempit ruang gerak pemohon dalam menguji perolehan hasil suara secara gamblang di MK. Ironisnya, MK membatasi diri dalam menerima permohonan-pemohon dalam persoalan sengketa suara Pilkada. “Ini menjauhkan dari keadilan yang diinginkan pemohon,” ujarnya.

Menurutnya, ketentuan aturan perselisihan suara 0,5-2 persen hanya upaya MK membentengi diri dari penanganan sengketa Pilkada. Itu akibat kasus mantan Ketua MK Akil Mochtar terkait penanganan kasus sengketa Pilkada. Akibatnya, MK tak lagi menginginkan menangani perkara Pilkada.

Mestinya, lanjut Hafidz, dalam memproses perkara sengketa Pilkada secara utuh, MK bukan semata memproses persoalan perselisihan suara, namun juga penyebab adanya perselisihan dalam perolehan suara. “Peraturan ini sebaiknya ditinjau ulang. MK harusnya memperhatikan persoalan pelanggaran terstruktur, sistemik dan masif,” ujarnya.

Senada, Peneliti Indonesia Institute for Development and Democracy (Inded), Arif Susanto, mengatakan PMK No.5 Tahun 2015 memiliki banyak persoalan. Pertama, PMK tersebut dibuat sebagai tafsir dari Pasal 158 UU No.8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Padahal kata Arif, dalam UU Pilkada terdapat hal yang tidak jelas, seperti rujukan terhadap hasil putusan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Oleh MK, putusan KPU diterjemahkan hanya menangani persoalan perselisihan perolehan suara antara pemohon dengan termohon.

Tak hanya itu, MK dinilai mencoba meminimalisasi kemungkinan kasus sengketa Pilkada masuk untuk ditangani. Ia menilai bila meminimalisasi kasus itu berdampak pada keadilan yang kian sempit, bakal berbahaya. “MK harus berpikir lebih ke substantif pemenuhan keadilan dan demokrasi. Kemudian berpikir progresif dalam menafsirkan UU, bukan konservatif. UU itu bermasalah, tetapi kalau tafsirnya progresif kemungkinan yang buruk bisa diminimalisir,” ujarnya.

Jangan Jadi Mahkamah Kalkulator

Di tempat yang sama, Ketua Komite Pemilih (TePI), Indonesia Jeirry Sumampow, berpandangan MK tak boleh menjadi ‘lembaga kalkulator’. Sebaliknya, MK mesti menjadi lembaga yang berbobot dalam penanganan sengketa Pilkada. Menurutnya, bila MK hanya menjadi lembaga kalkulator, maka akan mengabaikan proses sebelumnya dalam memperoleh suara Pilkada. Bukan menjadi rahasia umum, proses Pilkada masih diwarnai dengan kecurangan yang dimungkinkan dilakukan oleh peserta maupun penyelenggara.

“Kita mendorong supaya MK tidak sekedar menjadi mahkamah kalkulator, tapi masuk ke substansi persoalan pilkada. Kalau jadi kalkulator, akan menjadi tidak baik, dan kualitas Pilkada akan buruk. Kita membutuhkan MK sebagai lembaga yang berbobot,” ujarnya.

Dosen hukum tata negara Universitas Atmajaya, Yusmik Poe, mengatakan MK mesti memberikan keadilan bukan semata lembaga penegak hukum. Meski MK tidak diberikan kewenangan pilkada secara penuh, namun mesti menjadi benteng terakhir dalam sengketa Pilkada. Pasalnya, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tak dapat diharapkan banyak dalam penanganan sengketa pilkada. “Saya masih lebih percaya MK ketimbang PTUN,” katanya.

Lebih lanjut, ia berpandangan dalam penyelesaian sengketa Pilkada sebaiknya ditindaklanjuti dengan UU, bukan PMK. Sebaliknya, menindaklanjuti persoalan sengketa Pilkada dengan PMK sebagai bentuk absolutisme kekuasaan. Hal itu dinilai tidak ada keseimbangan. “Ini bahaya kalau ditindaklanjuti dengan PMK, terobosannya dengan UU. MK itu bukan mahkamah kalkulator, tapi putusannya dinafikan dengan adanya terstruktur, masif dan sistemik,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait