Kawin Kontrak dan Mail-Order Bride Merupakan Bentuk Perdagangan Orang
Berita

Kawin Kontrak dan Mail-Order Bride Merupakan Bentuk Perdagangan Orang

Indonesia masih menjadi sasaran empuk tindak pidana perdagangan orang, baik sebagai pengirim dan tempat transit maupun sebagai negara penerima.

Mys
Bacaan 2 Menit
Kawin Kontrak dan <i>Mail-Order Bride</i> Merupakan Bentuk Perdagangan Orang
Hukumonline

 

Luasnya perumusan perdagangan orang membuat bentuk-bentuk tindakan yang masuk kategori tindaka pidana perdagangan orang pun beragam. Penelitian Sentra HAM Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Law School of the South Carolina University misalnya memasukkan penyelenggaraan kawin kontrak dan perkawinan antar negara melalui pesanan (mail-order bride). Bentuk yang disebut pertama umumnya dilakukan pekerja asing dengan perempuan Indonesia untuk waktu tertentu dimana perempuan mendapat kompensasi finansial; bentuk kedua umumnya pengantin perempuan tidak mengetahui kondisi sebenarnya dari calon suami. Perkawinan bentuk ini ditemui di Singkawang dan Tangerang yang umumnya kawin dengan pria Taiwan atau Hongkong.

 

Berdasarkan penelitian UMI Makassar di Kawasan Timur Indonesia, perdagangan orang pada umumnya terjadi dalam dua bentuk. Pertama, exchange, dimana seseorang (A) memberikan sesuatu kepada orang lain (B), dan A menerima sesuatu dari B sebagai balasan yang setara hasil nol. Ini terjadi pada penggunaan tenaga kerja anak di bawah umum. Kedua, sharing, dimana A memberikan sesuatu kepada B, tetapi si A tidak kehilangan sesuatu yang diberikan itu, yang bisa mempunyai implikasi positive-sum. Ini terjadi pada eksploitasi seksual bagi perempuan.

 

Indonesia sebenarnya termasuk sasaran empuk perdagangan orang. Baik yang berkedok pengiriman tenaga kerja dan duta kesenian, maupun pekerja seks komersial. Indonesia telah menjadi negara pengirim, transit dan negara penerima. Laporan Departemen Kehakiman Amerika Serikat pada 2002 (Trafficking in Persons Report) menempatkan Indonesia ke dalam kelompok Tier 3, yakni kelompok negara yang tidak banyaki melakukan upaya mencegah perdagangan orang. Menurut Harksirtutio Harkrisnowo, sejak 2003 status Indonesia sudah membaik menjadi Tier 2 karena dilakukannya beberapa upaya yang relevan, termasuk regulasi.

 

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar H. Laudin Marsuni mengkritik rumusan ‘perdagangan orang' dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007. Rumusan yang ada, kata dia, membuat banyak pelaku bisa lolos dari jerat hukum.

 

Dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang tersebut, yang dimaksud ‘perdagangan orang' adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

 

Adanya rumusan ‘memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali' dinilai Prof. Laudin telah mempersempit lingkup pelaku. Tetapi di sisi lain, rumusan ‘perdagangan orang' di atas terlalu luas sehingga bisa menjerat orang-orang yang tidak bersalah. Misalnya, perusahaan angkutan umum yang mengangkut orang yang diperdagangkan, padahal pengangkut tidak tahu sama sekali. Rumusan itu bisa menjerat orang yang tidak bersalah, ujarnya saat tampil sebagai pembicara dalam Seminar ‘Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)' di Kampus Universitas Pelita Harapan Jakarta, Jum'at (31/8).

 

Dirjen Perlindungan Hak Asasi Manusia Dephukham Prof. Harkristuti Harkrisnowo yang tampil pada acara yang sama menepis pandangan Prof. Laudin. Harkristuti sependapat bahwa suatu undang-undang harus memperhatikan apakah unsur-unsur telah dirumuskan dengan jelas, limitatif dan tidak menimbulkan multitafsir ketika diterapkan.

 

Harkristuti juga mengakui rumusan perdagangan orang dalam pasal 1 angka 1 UU No. 21 Tahun 2007 tersebut sangat luas. Justru karena keluasan itulah bisa menjerat banyak orang. Rumusan demikian bahkan bisa mengatasi problem yang dialami aparat penegak hukum ketika hanya bersandar pada Pasal 297 dan 324 KUH Pidana. Praktek di lapangan membuktikan pasal-pasal ini (maksudnya KUHP –red) jarang sekali diterapkan oleh aparat penegak hukum, papar Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia itu.

Tags: