Keberadaan OJK Dinilai Legal Secara Konstitusional
Berita

Keberadaan OJK Dinilai Legal Secara Konstitusional

Adanya pungutan atau iuran terhadap pelaku pasar merupakan praktik yang lazim dalam sistem hukum sektor jasa keuangan di Indonesia.

ASH
Bacaan 2 Menit
Prof Dr Nindyo Pramono SH, MS. Foto: SGP
Prof Dr Nindyo Pramono SH, MS. Foto: SGP
Pihak pemerintah kembali mengajukan beberapa ahli dalam sidang lanjutan pengujian UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait konstitusionalitas keberadaan dan kewenangan OJK. Dua ahli yang dihadirkan diantaranya, Guru Besar Hukum Perundang-undangan FH Unand Prof Yuliandri dan Guru Besar Hukum Bisnis FH UGM, Prof Nindyo Pramono.

Dalam paparannya, Yuliandri menilai tidak ada cantolan pembentukan UU OJK dalam UUD 1945 tidak dapat dijadikan tolak ukur legalitas sebuah undang-undang. Sebab, materi undang-undang tidak selalu perintah/delegasi UUD 1945. Pasal 10 ayat (1) dan Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pun memungkinkan UU dibentuk atas dasar delegasi dari UU lain yang tingkatannya sama.  

Dia mencontohkan dibentuknya OJK merupakan amanat Pasal 34 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Ketentuan itu menyebut tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan undang-undang. “Inilah yang menjadi legalitas pembentukan UU OJK,” ujar Pramono dalam persidangan yang dipimpin Arief Hidayat di Gedung MK, Senin (1/12).

Dengan begitu, kata Yuliandri, dari aspek perundang-undangan tidak ada persoalan dengan delegasi pembentukan UU OJK dari UU BI. “Jadi, apa yang dipersoalkan pemohon terkait dasar hukum pembentukan OJK sangat tidak beralasan,” kata dia.

Lebih lanjut, dia menegaskan keberadaan OJK sebagai lembaga independen lebih khas dibandingkan lembaga independen lain yang semata-mata melayani pelayanan publik, seperti KY, Komnas HAM, KPK. Dalam kapasitas itu, OJK diberi kewenangan mengatur penyelenggaraan kegiatan sektor jasa yang dinilai sebagai penerimaan OJK. Lagipula, standar pungutan ditentukan pemerintah melalui peraturan pemerintah.

Dia membandingkan dengan pungutan biaya perkara (perdata) di MA yang tidak dibebankan kepada negara seperti yang diamanatkan dalam UU Kekuasaan Kehakiman. Sebab, permasalahan hukum yang diadili menyangkut hubungan privat dari pihak-pihak berperkara yang sama sekali tidak ada hubungan atau dapat mempengaruhi kemandirian lembaga peradilan.           

“Jadi, tindakan menarik pungutan OJK menjadi sah secara kontitusional karena diatur dalam UU OJK dan tidak ada hubungannya atau mengganggu independensi lembaga (OJK),” tegasnya.    

Nindyo Pramono pun mendukung keberadaan OJK ini yang telah memenuhi aspek legalitas konstitusional. Pembentukan OJK yang independen diamanatkan UU BI sangat tepat dalam upaya mengawasi tiga pilar sektor jasa keuangan yakni lembaga perbankan, lembaga nonbank (asuransi, pembiayaan, dana pensiun), dan pasar modal.

Dia berpandangan adanya pungutan pendanaan OJK yang antara lain bersumber dari pungutan pihak yang melakukan kegiatan sektor jasa keuangan juga mandat Pasal 33 ayat (1), (4) UUD 1945. Yakni, adanya sifat kekeluargaan dan gotong royong diantara pelaku usaha untuk menopang pembiayaan pengawasan sektor jasa keuangan agar tidak membebani APBN.

“Pungutan atau iuran/pemi juga dikenal dalam UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Pungutan itu wujud konkrit filosofi kegotongroyongan atau kekeluargaan masyarakat Indonesia yang sejalan dengan jiwa Pasal 33 UUD 1945.” dalihnya.             

Karena itu, adanya pungutan atau iuran terhadap pelaku pasar merupakan praktik yang lazim dalam sistem hukum sektor jasa keuangan di Indonesia. Hal ini sejalan dengan Pasal 23A UUD 1945 yang menyebut pajak dan pungutan lain yang memaksa diatur dengan undang-undang. “Jadi, keberadaan OJK sebaga pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan tidak perlu lagi dimasalahkan,” katanya.         

Sebelumnya, elemen masyarakat yang tergabung dalam Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa (TPKEB) mempersoalkan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 UU OJK terkait fungsi pengawasan dan pengaturan perbankan oleh OJK. Sebab, kedua fungsi OJK itu tak diatur dalam konstitusi yang eksesnya mendorong terbentuknya pasar bebas.

Misalnya, kata “independen” dalam Pasal 1 angka 1 bertentangan dengan Pasal 23D dan Pasal 33 UUD 1945. Sebab, kata “independen” dalam konstitusi hanya dimungkinkan dengan melalui bank sentral, bukan OJK. Pasal 5 UU OJK - yang menyebutkan OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan sektor jasa keuangan- dapat berdampak penumpukan kewenangan, sehingga menjadi sulit terkontrol.

Justru, Pasal 37 UU OJK terkait pungutan OJK terhadap bank dan industri jasa keuangan dapat mengurangi  kemandirian OJK. Pungutan ini memicu tanda tanya akan ditempatkan di pos apa dalam nomenklatur APBN. Karena itu, pemohon meminta MK membatalkan Pasal 5 dan Pasal 37.

Pemohon juga meminta MK menghapus frasa ‘..tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..’ dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 UU OJK karena bertentangan dengan Pasal 23D UUD 1945.
Tags:

Berita Terkait