“Kebijakan ini akan banyak menuai pro dan kontra di masyarakat, misalnya terkait dengan tindak pidana khusus korupsi, pencucian uang, terorisme, pelanggaran HAM berat dan lain-lain yang dianggap akan melemah jika dimasukkan dalam RUU KUHP,” demikian keterangan Aliansi Reformasi KUHP, yang diwakili Supriyadi Widodo Eddyono, Direktur Eksekutif ICJR, Senin (2/3).
Namun anehnya, kata Supiyadi, di sisi lain pemerintah justru mendorong tindak pidana baru yang berkembang di luar KUHP. Di tahun 2015 ini dalam Prolegnas, pemerintah mendorong pembahasan rancangan undang-undang tentang Informasi Teknologi (ITE) dan rancangan Undang-Undang Larangan Minuman beralkohol. Kedua RUU ini memiliki banyak tindak pidana baru maupun tindak pidana revisi.
Dalam RUU perubahan UU ITE, dalam pasal Pasal 27 A, Pasal 27 B, Pasal 27 C, Pasal 27 D, dan Pasal 27 E, Pasal 31, baik tentang melanggar kesusilaan, menyerang kehormatan atau nama baik permainan judi, menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, ancaman pembeberan informasi dan lain sebagainya.
“Aliansi melihat paling tidak ada sekitar 30 tindak pidana baru atau tindak pidana revisi dalam RUU tersebut,” ujar Supriyadi.
Sedangkan dalam RUU Larangan Minuman beralkohol ada 10 tindak pidana baru yang diusulkan pemerintah dalam Pasal 5, 6, 7 dan 18, yang mencakup tindak pidana memproduksi, menyimpan, mengedarkan, menjual, meminum, mengganggu ketertiban umum terkait minuman beralkohol, dengan ancaman 2 sd 10 tahun penjara dan denda ratusan juta-10 miliar rupiah.
“Aliansi bahkan melihat walaupun judulnya RUU larangan minuman beralkohol namun materinya merupakan RUU tindak pidana minuman berlakohol,” kata Supriyadi.
Menurutnya, materi tindak pidana dalam kedua RUU tersebut di atas sangat berbeda dengan standar dalam RUU KUHP. Baik dari segi perumusan unsur tindak pidana (materi) tindak pidananya yang memiliki kecenderungan duplikasi juga masalah pemidanaannya (hukumannya) yang terkesan dibuat sesukanya tanpa landasan ilmiah.
“Ini menegaskan bahwa Pemerintah Jokowi terlihat tidak harmonis dalam merumuskan kebijakan reformasi hukum pidana,” kata Supriyadi.
Lebih jauh, aliansi menolak perumusan tindak pidana tersebut karena menunjukkan pemerintahan Jokowi tidak Konsisten dalam melakukan reformasi KUHP 2015. Jika pemerintah Konsisten dengan Rancangan KUHP 2015, seharusnya seluruh tindak pidana yang berada di luar KUHP sebaiknya di masukkan dalam Rancangan KUHP, bukan justru memperbanyak tindak pidana di luar RUU KUHP. Apalagi jika rumusan-rumusan RUU tersebut bertolak belakang dengan semangat Rancangan KUHP.
“Oleh karena itu, aliansi mendesak agar pemerintah menarik kembali seluruh RUU yang memiliki materi tindak pidana dan memasukkannya dalam Rancangan KUHP,” pungkas Supriyadi.