Kekebalan Kedubes Asing Tidak Mutlak
Berita

Kekebalan Kedubes Asing Tidak Mutlak

Literatur hukum mencatat Kedubes AS dan Kedubes Singapura pernah digugat ke pengadilan

Mys
Bacaan 2 Menit
Kedutaan Besar Amerika Serikat. Foto: SGP
Kedutaan Besar Amerika Serikat. Foto: SGP

Habiburrokhman meyakini bahwa kedutaan besar asing dapat digugat secara perdata di pengadilan Indonesia. Sebab, kekebalan diplomatik yang diatur dalam Konvensi Wina tidak bersifat mutlak.

 

Pandangan itu disampaikan menyikapi kekhawatiran bahwa gugatannya terhadap Kedutaan Besar Amerika Serikat (Kedubes AS) di Jakarta –bersama dua media Australia The Age dan The Sydney Morning Herald— kandas di tengah jalan. Dua kali sidang yang sudah digelar para pihak belum lengkap. Pihak Kedubes AS dan kuasa The Age belum hadir dalam sidang terakhir pekan lalu. Akibatnya, majelis PN Jakarta Pusat yang diketuai Kasianus Telaumbanua menunda sidang hingga 26 September mendatang.

 

Menurut Habiburrokhman, kekebalan diplomatik sesuai Konvensi Wina, bisa diabaikan dalam hal-hal tertentu. Ia merujuk pada kasus Direktur IMF, Strauss-Kahn, yang ditahan kepolisian AS lantaran dugaan pelecehan seksual terhadap pelayan hotel.

 

Ia juga mencontohkan pajak kemacetan yang dikenakan terhadap Presiden Barack Obama saat berkunjung ke Inggris. “Karena itu, kekebalan diplomatik dalam hal tertentu tidak berlaku,” ujarnya kepada hukumonline.

 

Mengatasnamakan sekelompok masyarakat Indonesia, Habiburrokhman menggugat The Age Company Ltd, The Sydney Morning Herald, dan Kedubes AS gara-gara bocornya kawat diplomatik. Kawat diplomatik Kedubes AS yang bocor ke Wikileaks itu lantas dikutip kedua media Australia.

 

Pada edisi 11 Maret 2011, The Age menulis judul “Yudhoyono abused power” tanpa sesuai kode etik jurnalistik. Tulisan itu dinilai Habib telah mendiskreditkan pemimpin Indonesia. Habib meminta para tergugat membayar ganti rugi sebesar satu miliar dolar AS.

 

Dalam sidang terakhir 28 Juni lalu, perwakilan Sydney Morning Herald sudah menghadiri sidang. Diwakili pengacara dari kantor Lubis Santosa dan Maulana, The Sydney menyatakan belum mendapatkan pemberitahuan gugatan dalam bahasa Inggris hingga sidang berlangsung. Karena itu pula, pengacara belum mendapat kuasa resmi dari klien.

 

Sebaliknya, Habib menyatakan terjemahan resmi dari gugatannya sudah disampaikan. Lagipula, kuasa secara lisan bisa dibenarkan. Ia justru menyayangkan penundaan sidang yang berakibat berlarut-larutnya perkara ini.

 

Habib bukan orang pertama yang menggugat Kedubes asing di Jakarta. Abubakar Ba’asyir pernah melayangkan gugatan terhadap Duta Besar Singapura di Jakarta pada 2002 silam. Kala itu, Ustad Ba’asyir memasukkan gugatan ke PN Jakarta Selatan lantaran rilis kedutaan yang menyebut Ba’asyir sebagai teroris.

 

Di persidangan, pengacara Ba’asyir juga menggunakan argumentasi tentang Konvensi Wina 1961 dan 1963. Kebebalan diplomatik tetap tunduk pada jurisdiksi hukum suatu negara. Bahkan melalui konsep jurisdiksi multinasional, seseorang bisa digugat di negara manapun.

 

Jauh sebelumnya, dalam literatur hukum Indonesia tercatat, Kedubes AS pernah digugat seorang warga negara Indonesia gara-gara persoalan sewa. Syamsir Iskandar, warga Indonesia dimaksud, mempersoalkan biaya sewa rumah para staf Kedubes di kawasan Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Perkara ini bahkan sampai Mahkamah Agung.

 

Satu poin penting dari gugatan ini adalah kedubes asing bisa digugat secara perdata. Argumentasi kekebalan diplomatik yang dijadikan alasan ditepis majelis hakim. Eksepsi Kedubes AS atas kekebalan diplomatik ditolak PN Jakarta Selatan. Tetapi satu hal yang tak boleh dilupakan, panggilan sidang harus dilakukan melalui saluran-saluran diplomatik.

Tags: