Keterlibatan DPR Dalam Seleksi Penyelenggara Pemilu Dipersoalkan
Berita

Keterlibatan DPR Dalam Seleksi Penyelenggara Pemilu Dipersoalkan

Pemohon khawatir keterlibatan DPR akan mengganggu kemandirian penyelenggara pemilu.

ash
Bacaan 2 Menit
Majelis MK kembali menggelar sidang pengujian tentang Penyelenggara Pemilu. Foto: SGP
Majelis MK kembali menggelar sidang pengujian tentang Penyelenggara Pemilu. Foto: SGP

Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian sejumlah pasal dalam UU No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum yang diajukan sejumlah lembaga dan akademisi. 

Tercatat sebagai pemohon yaitu Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang Prof Yuliandri, Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang Charles Simabura, dan Dosen Fakultas Hukum UGM Yogyakarta Zainal Arifin Muchtar.

Pasal-pasal yang diuji terkait pengaturan kewenangan DPR yang dapat menolak satu kali nama calon anggota KPU dan Bawaslu yang diajukan pemerintah (Kemendagri) melalui Tim Seleksi (Timsel).

Adapun pasal-pasal yang diuji yaitu Pasal 13 ayat (5), Pasal 15 ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), Pasal 87 ayat (5), Pasal 89 ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) UU Penyelenggara Pemilu yang dinilai bertentangan dengan Pasal 22E ayat (5) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.


Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, kuasa hukum Veri Junaidi menuturkan Pasal 13 ayat (5) bertentangan dengan semangat pembentukan penyelenggara pemilu yang independen. “Ide pembentukan penyelenggara pemilu yang independen harus dapat diwujudkan melalui proses yang independen pula,” kata Veri. 

Menurutnya, memberikan ruang kepada DPR untuk ikut serta dalam setiap tahapan seleksi yang dilakukan timsel jelas akan memberikan pengaruh pada proses seleksi penyelenggara pemilu. “Ikut campurnya DPR dalam setiap tahapan seleksi pemilu telah menghilangkan semangat independensi penyelenggara pemilu,” tandasnya.

Veri mengatakan, dalam putusan MK sebelumnya disebutkan bahwa kemandirian penyelenggara pemilu itu bisa dipenuhi melalui dua cara yakni kepastian pengaturan mundur lima tahun bagi calon dari parpol dan seleksi yang independen oleh Timsel.

Kemandirian Timsel akan terancam dengan terbukanya peluang para politisi melalui DPR mengintervensi hasil kerja Timsel ke depan melalui pengaturan pasal-pasal itu. “Kalau Timsel berpeluang diintervensi berarti kemandirian penyelenggara pemilu ke depan bisa terancam akibat Timsel yang tidak lagi independen,” katanya.

Ditegaskannya, prinsip-prinsip independensi dan kemandirian KPU merupakan tuntutan konstitusi yang harus terpenuhi. Sifat mandiri dalam prinsip internasional menuntut agar KPU bebas dari intervensi kekuasaan baik pemerintah, parpol, maupun peserta pemilu.

“Anggota KPU yang profesional dan kredibel akan sangat membantu untuk mengawal KPU untuk menjadi lembaga yang mandiri dan independen. Sedangkan untuk terpilihnya anggota KPU yang profesional dan kredibel dibutuhkan proses rekrutmen yang jelas dengan melibatkan masyarakat secara luas,” paparnya.

Hakim Konstitusi Maria Farida Indrarti mempertanyakan batu uji yang digunakan pemohon. “Apakah semua pasal yang diuji itu bertentangan dengan Pasal 22E ayat (5) dan Pasal 28D ayat (1) atau pasal-pasal tertentu? Ini perlu diuraikan lebih jelas,” sarannya.

Sedangkan, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva mempertanyakan siapa yang sebenarnya membuat KPU menjadi independen.

“Apakah memang demikian, presiden juga orang parpol. Ini untuk mempertajam saja. Apakah yang menjamin independensi KPU itu presiden, dan DPR menjadi tidak independen? Apa alasannya?” ucapnya.

Majelis Hakim panel meminta pemohon untuk memperbaiki permohonannya dalam waktu 14 hari. 

Tags: