KPK Bidik Aset Negara di Sektor Migas
Berita

KPK Bidik Aset Negara di Sektor Migas

Lagaknya, lembaga pemberantas korupsi ini ingin mencari akar masalah korupsi dari regulasi yang koruptif.

NNC
Bacaan 2 Menit
KPK Bidik Aset Negara di Sektor Migas
Hukumonline

Laporan yang diterima KPK, sedikit mirip dengan teriakan Anggota DPR Dradjat Hari Wibowo ketika menanggapi hasil laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) ini melihat penghamburan di sektor migas sangat tambun. "Biaya calo migas bisa mencapai AS$2 miliar," teriaknya.

Dradjat bukan kali ini saja berteriak. Pada 2007 lalu, Anggota Komisi XI (bidang perbankan dan keuangan negara) ini bersama delapan koleganya pernah mengajukan constitusional review terhadap UU Migas. Mirip pandangan Haryono, ia melihat, keterpurukan sektor migas sudah dimulai sejak di tingkatan payung aturan. Sayang, permohonan kandas lantaran legal standing Dradjat tidak diakui oleh Mahkamah Konstitusi. Lembaga penjaga konstitusi itu menyatakan permohonan tidak dapat diterima alias NO (niet ontvankelijk verklaard).

Kolega Dradjat di DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan juga mendukung pernyataan itu. Effendi Simbolon dari Komisi VII (energi sumber daya mineral, riset dan teknologi, lingkungan) menyatakan, penerimaan negara dari migas diatur melalui mekanisme APBN. Jika ada penyelewengan, berarti pemerintah melanggar undang-undang.

Idealnya, segala penerimaan negara langsung masuk ke kantong negara. Rekening penerimaan itu bernomor 502. Namun, lantaran kendala teknis, acap pemerintah menampungnya terlebih dulu ke rekening perantara.

Pendapatan dari sektor migas dituding masih tidak transparan. Sering pemerintah menyimpannya lebih dahulu ke Rekening 600. Belakangan baru disetor ke Rekening 502. Maklum, uang kas yang diterima ini suatu saat digunakan lagi oleh pemerintah.

Soal cost recovery yang kelewat merugikan bagi pemerintah, Anggota BPK Udju Djuhaeri memakluminya. "Misalnya, karena dalam kondisi lima hal," ujarnya. Lima poin itu antara lain, untuk reimbursement Pajak Penjualan (PPn); membayar Pajak Bumi dan Bangunan di bidang perminyakan; menyetor pajak daerah dan retribusi daerah; melunasi fee usaha hulu kepada BP Migas; serta menyesuaikan jumlah lifting jika ada nilai yang over maupun kurang.

Melambungnya harga minyak dunia, menyusul keputusan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi di dalam negeri, mengusik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk bergerak. Dalam dua pekan ke depan, KPK hendak menggelar pertemuan dengan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). KPK menganggap perlu bertemu dengan lembaga pengendali sektor migas itu guna membahas adanya dugaan kerugian luar biasa aset negara dalam industri minyak nasional.

Wakil Ketua KPK, Haryono Umar di sela Rapat Dengar Pendapat KPK dengan Komisi III (bidang Hukum dan Perundang-Undangan, HAM dan Keamanan) DPR, Senin (9/6) kemarin, mengatakan, KPK kini tengah mengkaji regulasi yang merugikan posisi Indonesia dalam kerjasama ekploitasi minyak bumi dengan perusahaan asing. Dia mengatakan, kerugian penyusutan aset akibat ketimpangan dalam kontrak bagi hasil (production sharing contract/agreement) antara pemerintah Indonesia dengan oil company asal asing, mencapai AS$24,6 miliar atau sekitar Rp200 triliun.

Kegiatan KPK ini berkaitan dengan niatan untuk mengusulkan dilakukannya amandemen sejumlah regulasi yang dinilai sudah kelewat lawas. Dalam waktu dekat, Haryono sudah menyiapkan sejumlah daftar rekomendasi bagi BP Migas.

Haryono menuturkan, dari sejumlah laporan yang masuk KPK, pengawasan BP Migas terhadap operasional kerjasama pemerintah dengan perusahaan asing dinilai masih kurang. Walhasil, cost recovery untuk mengeruk cadangan minyak bumi di perut Nusantara sebagian besar ditanggung oleh pemerintah. Praktek ini, selain lantaran kurang transparannya jumlah lifting, ujar Haryono, disinyalir juga akibat adanya payung-payung hukum yang cenderung dibikin atas desakan kekuatan ekonomi asing.

Halaman Selanjutnya:
Tags: