KPPU Kritik Perhitungan Baru Tiket Pesawat
Berita

KPPU Kritik Perhitungan Baru Tiket Pesawat

Pertemuan dengan jajaran Kementerian Perhubungan sudah disiapkan.

FNH
Bacaan 2 Menit
Gedung KPPU. Foto: Sgp
Gedung KPPU. Foto: Sgp
Dua hari setelah insiden kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501 rute Surabaya-Singapura, Kementerian Perhubungan menerbitkan peraturan baru tentang mekanisme formulasi perhitungan dan penetapan tarif batas penumpang pelayanan kelas ekonomi. Aturan ini berlaku untuk angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri.

Peraturan Menteri Perhubungan No. 91 Tahun 2014 melakukan revisi atas Permenhut No. 51 Tahun 2014. Revisi dilakukan setelah ada evaluasi lapangan terhadap para pemangku kepentingan penerbangan. Berdasarkan evaluasi itu dirasa perlu menyesuaikan kembali prosentase tarif normal lebih kecil dari tarif batas atas sesuai kelompok pelayanan yang diberikan.

Permenhub baru ini menetapkantarif dasar bawah tiket pesawat sebesar 40 persen dari tarif batas atas maskapai penerbangan. Menurut Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemenhub, J.A. Barata, penetapan tarif dasar bawah tersebut menjadi salah satu cara pemerintah untuk meningkatkan keselamatan penumpang. Tarif maskapai penerbangan yang murah, dinilai mengurangi beberapa komponen penting menyangkut keselamatan penumpang.

Barata memberi contoh pelatihan pilot. Gara-gara tarif murah, pelatihan pilot dihapus. Padahal pelatihan terus menerus penting demi keselamatan penerbangan. “Dengan penerapan tarif dasar bawah, biaya untuk training pilot yang tadinya tidak ada karena tiket murah, jadi ada,” kata Barata kepada hukumonline Jumat lalu (09/1).

Peraturan baru tarif penerbangan ini dikritik Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Komisioner KPPU, M. Nawir Messi mengatakan, KPPU tidak sepakat atas kebijakan penetapan tarif dasar bawah tiket pesawat tersebut. Menurutnya, perhitungan harga tiket pesawat harus dihitung secara keseluruhan atau rata-rata dari keseluruhan penumpang yang menghasilkan harga rata-rata per tiket.

“Kalau dia (maskapai) jual Rp10.000 dua kursi dan selebihnya dijual dengan harga di atas rata-rata, kan terkompensasi. Jadi bukan soal absolute number yang dipersoalkan, tapi apakah harga itu secara rata-rata bisa membuat maskapai tetap operate dengan jaminan keamanan. Mau gratis dua kursi atau tiga kursi tidak masalah. Apalagi kalau ada harganya,” kata Nawir kepada hukumonline di Kantor KPPU Jakarta Pusat, Selasa (13/1).

Permenhub, kata Nawir, bisa berimbas pada kemampuan masyarakat kelas menengah ke bawah menggunakan jasa penerbangan. Nawir menilai, seharusnya kebijakan publik tersebut harus dilihat dari seluruh dimensi kehidupan masyarakat.

“Kalau hanya sekadar melihat harga tiket, ya, gampang amat jadi menteri. Dan saya selalu berpendapat tidak ada hubungan antara harga tiket dan keamanan. Kalau misalnya harga tiket dinaikkan 10 kali lipat, apakah ada jaminan pesawat itu tidak crash (kecelakaan—red)? Tidak ada. Atau ada jaminan jika keuntungan operator itu dinaikkan menjadi dua kali lipat karena regulasi  kemudian mereka menjaga keamanan penerbangan? Tidak ada,” imbuhnya.

Dalam hal ini, lanjutnya, tanggung jawab keamanan penumpang dalam penerbangan adalah pengawasan yang harus dilakukan oleh Kemenhub. Tanggung jawab kelembagaan Kemenhub tidak dapat dipindahkan ke mekanisme harga. Karena hanya dengan pengawasan yang baik, intensif, sistematis dan efektif yang bisa menjamin keamanan pesawat, bukan terletak pada harga.

Jika merujuk pada UU No. 5 Tahun 1999 tentang KPPU, Nawir menegaskan bahwa KPPU memiliki wewenang untuk mendorong efisiensi perekonomian. Sayangnya, kebijakan Kemenhub kali ini tidak mempertimbangan efisiensi perekonomian. Permenhub tersebut dinilai tak bisa mendorong efisiensi perekonomian nasional.

Sesuai Pasal 35 dan Pasal 36 UU No. 5 Tahun 1999, KPPU diberikan wewenang untuk memberikan saran, masukan atau kebijakan kepada pemerintah. Atas dasar itu pula, KPPU memutuskan untuk melakukan koordinasi dan diskusi bersama dengan Kemenhub.

Menurut Nawir, pada intinya KPPU meminta Kemenhub untuk mereview  peraturan baru tarif bawah penerbangan. KPPU berharap ada jalan lain yang bisa dilakukan selain membuat batasan bawah.  Atau mungkin ada instrumen kebijakan lain yang lebih efektif untuk menjamin keselamatan konsumen. “Jangan mengorbankan konsumen.” Tandas Nawir.

Selain itu, KPPU menilai, pemerintah sudah seharusnya memberikan fasilitas akses kepada masyarakat terhadap semua jenis transportasi publik yang ada di Indonesia. Dengan peneraan tarif dasar bawah, pemerintah mengorbankan konsumen yang memiliki keterbatasan terhadap akses penerbangan udara.

“Dampak dari kebijakan ini luas. Merugikan konsumen, industri dan menghilangkan akses masyarakat kelas menengah ke bawah untuk naik pesawat,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait