Kurangnya Buku Hukum Humaniter Bukan Hambatan
Peradilan Semu <i>Asia Cup</i>

Kurangnya Buku Hukum Humaniter Bukan Hambatan

Kendala yang dihadapi tim Indonesia saat berlatih adalah kurangnya buku-buku dan jurnal penunjang mengenai hukum humaniter atau hukum perang.

M-1
Bacaan 2 Menit
Kurangnya Buku Hukum Humaniter Bukan Hambatan
Hukumonline

 

Menurut penuturan tim Indonesia kepada hukumonline, diantara pertandingan tersebut, Hongkong adalah tim terberat yang harus dihadapi. Karena dua peserta mereka adalah delegasi Hongkong untuk Jessup Competition. Salah satunya adalah Timothy Parker yang merupakan peringkat ke-13 pembicara terbaik dari sekitar 300 pembicara waktu kompetisi Jessup. Bagus sekali presentasi dia, ujar Novri.

 

Bertindak sebagai juri dalam kompetisi tersebut adalah profesor dari Tokyo University, staf dari Palang Merah Internasional di Kuala Lumpur, serta seorang pakar yang merupakan mantan dubes Jepang untuk India, Mesir, dan Bhutan. Penilaian kompetisi tidak hanya berdasarkan keahlian para peserta dalam berbahasa Inggris, tetapi lebih kepada pengetahuan tentang hukum, terutama bagaimana cara menjawab pertanyaan hakim serta berargumentasi di depan tim lawan yang dihadapi.

 

Ditambahkan oleh Fitria, meski hadiah kejuaraan hanya berupa piala dan tidak ada uang sama sekali, mereka tetap senang karena bisa menikmati perjalanan ke kota indah Sendai di Jepang yang mirip Tokyo, makan-makan dan mengikuti simposium internasional di Tohoku University. Semua akomodasi selama mereka di Jepang ditanggung oleh panitia lomba.

 

Yang ditanggung penuh dari pemerintah jepang dua orang, sisanya dengan biaya sendiri, ujar Harjo Winoto, salah satu peserta tim kepada hukumonline. Menurut mahasiswa yang pernah bertanding di Jessup Competition tersebut, pertandingan Asia Cup kali ini lebih ketat dari sebelumnya karena banyak pesertanya merupakan mahasiswa yang sebelumnya pernah berpartisipasi dalam Jessup Competition 2005.

Mereka  sudah tidak menganggap Asia Cup sebelah mata, terbukti mereka mengirim orang yag sudah berpengalaman, tandas mahasiswa Fakultas Hukum UI angkatan 2005 tersebut.

 

Usai lomba, masing-masing tim dari seluruh negara peserta mempresentasikan suatu permasalahan atau isu tertentu dari masing-masing negaranya pada tanggal 23-26 Agustus. Dalam simposium tersebut, Indonesia membawakan makalah mengenai peranan agama dalam pembuatan kebijakan dan peraturan perundang-undangan di Indonseia.

 

Sebelumnya, pada keikutsertaan Asia Cup tahun 2004 dan 2005 tim Indonesia harus puas dengan peringkat runner up. Tahun 2005, tim Indonesia berhasil mendapat penghargaan atas argumentasi tertulis (memorial) dengan predikat high achievement serta argumentasi lisan dengan predikat best oralist.

 

Menurut Hikmahanto, selain dalam Asia Cup, Indonesia juga berpartisipasi dalam kompetisi peradilan semu lainnya yaitu Phillip C. Jessup Competition, yang diadakan di Washington, Amerika Serikat, Willem C Vis International Commercial Arbitration Moot Competition yang diadakan di Wina, Austria serta Maritime Competition yang diadakan di Australia.

 

Dalam Jessup Competition 2006, Indonesia berhasil menduduki peringkat ke-19 dari 99 peserta yang berasal dari berbagai fakultas hukum di seluruh dunia, sementara dalam Maritime Competition 2005 yang diselenggarakan di Australia, Indonesia berhasil menyabet juara tiga.

 

Menurut Hikmahanto, keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kompetisi peradilan semu akan meningkatkan kualitas pendidikan hukum karena mendorong mahasiswa untuk melakukan riset mendalam atas argumentasi yang disampaikan dan ditantang untuk piawai dalam menyampaikan argumentasi tersebut baik secara lisan maupun oral di hadapan hakim.

 

Disamping itu, keikutsertaan tersebut menurut Hikmahanto akan memberi rasa percaya diri bagi para mahasiswa Indonesia bahwa mereka punya kemampuan yang tidak kalah dengan mahasiswa lain dari berbagai negara. Keuntungan lain dari kegiatan tersebut, lanjut Hikmahanto, dalam jangka panjang jika suatu saat pemerintah Indonesia menjadi pihak dalam Mahkamah Internasional maka pemerintah tidak perlu lagi menyewa para pengacara luar negeri yang mahal yang belum tentu menghayati posisi Indonesia, seperti pada penyelesaian Pulau Sipadan dan Ligitan dengan Malaysia.

 

Menurut salah seorang peserta Asia Cup 2005, Windri Marieta, kejuaraan tersebut sangat bermanfaat baginya. Kita bisa tahu bagaimana sebenarnya proses bersidang di Mahkamah Internasional. Kita diajari bagaimana berargumentasi di depan para hakim Mahkamah Internasional, serta bagaimana cara menjawab pertanyaan dari mereka. Seolah-olah kita berpura-pura kita jadi lawyernya sebuah negara, ujar Windri bangga.

 

Menurut Novri, untuk ikut kompetisi tersebut kita tidak boleh rendah diri. Novri menyayangkan banyak mahasiswa yang takut ikut kompetisi tersebut karena permasalahan bahasa Inggris. Sebenarnya ini bukan hanya mengenai bahasa Inggris, tapi juga logika. Bahasa Inggris bisa kita pelajari dan itu mudah. Selama ada kemauan kita pasti bisa, cetus mahasiswa yang bercita-cita menjadi diplomat tersebut.

 

Bagi Novri, kompetisi ini adalah kesekian kalinya yang pernah ia ikuti. Untuk bisa berkompetisi tersebut, tentu para peserta harus benar-benar mencintai dan tahu dunia hukum. Untuk itu, Novri mengharapkan dunia hukum lebih dicintai oleh anak muda Indonesia.

 

Ketika belajar hukum kita bisa tahu semua tentang dunia. Misalnya kalau kita beli barang, tertulis barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan dan ternyata setelah kita belajar Hukum Perikatan Khusus Perdata, kita tahu bahwa pernyataan tersebut tidak mengikat dan kita bisa menuntut kalau ada cacat barang. Hukum itu menyangkut semua kehidupan dan asik sekali untuk dipelajari. Kita bisa tahu celah-celah, kita tahu hak dan kewajiban kita, ujar anggota tim Indonesia paling senior tersebut.

 

Ke depan, para peserta berharap agar tim Indonesia bisa mempertahankan prestasi tersebut di pertandingan berikutnya dengan terus berlatih dan memperbanyak riset. Mereka juga berharap agar kampus mengajarkan materi hukum humaniter dan memperbanyak buku serta jurnal agar pengetahuan calon peserta lebih matang.

 

Meski di di Fakultas Hukum UI tempat para peserta berkuliah terdapat fasilitas internet untuk mengakses jurnal West Law, namun menurut mereka masih kurang memadai untuk berlatih. Di kampus mereka pun tidak diajarkan mata pelajaran hukum humaniter. Kami akhirnya  belajar otodidak dan tidak memakai buku perpustakaan sama sekali, keluh Novri. Namun mereka agak beruntung mendapat bantuan buku dari ICRC yang sedikit membantu dalam latihan.

 

Di Jepang, mereka melakukan presentasi lisan. Bertindak sebagai oral speaker adalah Harjo dan Melisa, sementara Novriady dan Fitria sebagai peneliti. Kasus yang dilombakan sama seperti kasus ketika di Indonesia yaitu mengenai hukum humaniter, HAM. Para peserta harus beradu argumen mengenai kasus pemberontakan di suatu negara yang berhasil memisahkan diri membentuk suatu negara baru. Dalam masa transisi tersebut terjadi pelanggaran hukum perang dan HAM di mana terdapat perlakuan yang buruk terhadap tahanan serta muncul juga kasus pornografi anak. Sepertinya mirip kasus antara RI-GAM, cetus Novri.

 

Di babak pertama, Indonesia harus melawan tim dari Thailand. Tim Indonesia berperan sebagai tergugat sementara Thailand jadi penggugat. Thailand yang biasanya dalam kompetisi tersebut berada di papan bawah, kali ini tampil dengan sangat bagus. Di babak kedua tim Indonesia harus berhadapan dengan Hongkong. Tim Indonesia berperan sebagai penggugat, tim Hongkong jadi tergugat.

 

Dari babak penyisihan, diambil dua teratas menuju final. Indonesia waktu itu menduduki peringkat pertama disusul Malaysia. Namun Fitria tidak tahu berapa point yang didapat Indonesia waktu itu. Sebenarnya bisa minta diberitahu, tapi kami lupa minta,  ujar mahasiswa angkatan 2004 tersebut dengan lugu. Di final, Indonesia menjadi tergugat sementara Malaysia menjadi penggugat.

Tags: