Lima Risiko Ekonomi Ini Perlu Diwaspadai
Berita

Lima Risiko Ekonomi Ini Perlu Diwaspadai

Dua kubu kekuatan politik harus secara arif meredakan ketegangan dan menghindari kebuntuan politik.

FNH
Bacaan 2 Menit
Proyek pembangunan infrastruktur. Foto: Sgp (Ilustrasi)
Proyek pembangunan infrastruktur. Foto: Sgp (Ilustrasi)
Dinamika politik Indonesia yang terjadi saat ini kerap menimbulkan ketegangan politik antara dua koalisi yakni Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP). Perebutan pimpinan DPR dan MPR contoh nyata dinamika politik. Jika pertarungan seperti ini terus terjadi bukan mustahil berimbas pada ekonomi Indonesia.

Direktur Riset Katadata Heri Susanto mengatakan, pemerintah baru berpotensi mengahadapi lima ancaman ekonomi jika ketegangan pollitik terus berlanjut pasca pelantikan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai Presiden-Wapres 2014-2019 pada 20 Oktober mendatang. “Ada potensi lima ancaman ekonomi jika ketegangan politik di Indonesia terus berlanjut pasca pelantikan Presiden-Wapres yang baru,” kata Heri dalam sebuh diskusi di Jakarta, Kamis (16/10).

Pertama, ancaman pelemahan kurs rupiah dan indeks saham. Menurut Heri, hasil riset Katadata menunjukkan adan gejolak politik yang terjadi pada tiga pekan terakhir yang mengakibatkan nilai tukar rupiah dan indeks harga saham gabungan (IHSG) merosot paling tajam di kawasan Asia. Selama periode tersebut, rupiah melemah 1,3 persen dan IHSG merosot sebanyak 4,3 persen. Fenomena ini membuktikan bahwa selain faktor eksternal, kisruh politik juga cukup signifikan memberikan dampak negatif terhadap pasar finansial.

Kedua, ancaman memburuknya iklim bisnis. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperkirakan, kisruh politik yang berlanjut bisa  menurunkan bisnis 5,5 persen. Heri menilai, respon negatif investor setidaknya mulai terlihat dari keluarnya arus modal asing (capital outflow) di pasar finansial, khsusunya di pasar saham dan obligasi.

Ketiga, ancaman terhambatnya pembangunan infrastruktur. Heri menjelaskan, Tim Transisi Pemerintah Baru menyebutkan, setidaknya dibutuhkan anggaran Rp6.500 triliun untuk membiayai pembangunan infrastruktur selama periode 2015-2019. Kenyataannya, realisasi dana infrastruktur yang tersedia dalam satu dekade terakhir hanya berada di kisaran 2 persen dari (Produk Domestik Bruto (PDB). “Artinya, jauh dari batas minimal 4 persen yang dicapai sebelum krisis 1997/1998,” ungkapnya.

Akibat dari situasi ini, Bank Dunia mengatakan Indonesia akan kehilangan setidaknya satu persen pertumbuhan ekonomi setiap tahun selama satu dekade terakhir. Untuk mengatasi hal ini, maka diperlukan pengurangan subsidi BBM yang mencapai 2,6 persen dari PDB. Namun kebijakan ini pun menimbulkan persoalan baru.

“Jika rencana pengurangan subsidi BBM ini tersandera oleh kepentingan politik, maka problem pembangunan infrastruktur akan terus membebani pemerintah baru. Selain itu, instabilitas politik akan menurunkan minat investasi asing di sektor infrastruktur,” jelasnya.

Ancaman keempat adalah laju pertumbuhan ekonomi terancam tersendat. Hal ini dikarenakan politik yang tidak stabil akan mempengaruhi perekonomian nasional. Apalagi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini diperkirakan hanya akan mencapa 5,2 persen.

Kelimaadalah ancaman meningkatnya pengangguran. Perlambatan pertumbuhan ekonomi pada akhirnya akan memperkecil daya penciptaan lapangan kerja. Kondisi ini pun diperparah dengan semakin rendahnya elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap penciptaan lapangan kerja.

Berkaca dari lima ancaman tersebut, Heri menyatakan bahwa para elit politik dari kedua kubu yakni KIH dan KMP. Dalam hal ini, Jokowi dan Prabowo Subianto perlu secara arif meredakan ketegangan dan menghindari terjadinya kebuntuan negosiasi yang bisa berujung krisis politik.

“Jika kebuntuan politik terus berlanjut, bahkan semakin memanas, sagat mungkin ancaman-ancaman tersebut akan menjadi kenyataan. Dan bila ini benar terjadi, maka perekonomian nasional benar-benar tersandera oleh kepentingan sempit politik,” tukasnya.

Ekonom Bank DBS Gundy Cahyadi mengatakan Indonesia sebagai bagian dari Asia turut memetik keuntungan dari bangkitnya ekonomi kawasan ini. Untuk itu, stabilitas politik menjadi salah satu prasyarat utama bagi keberlanjutan program-program ekonomi. “Ddalam satu bulan terakhir pelemahan nilai rupiah dan penurunan IHSG Indonesia termasuk yang terburuk di Asia,” kata Gundy.

Untuk menghadapi tekanan perekonomian ini, lanjut Gundy, pemerintah baru perlu mendorong reformasi ekonomi. Semua perubahan tersebut dapat dilakukan apabila ada perbaikan yang diciptakan terutama dalam peraturan dan perundang-undangan. Selain itu, kebijakan BI dengan merpertahankan BI Rate di level 7,5 persen merupakan langkah yang tepat. Kebijakan moneter ketat BI justru dperlukan untuk menjaga stabilitas pasar finansial guna menopang pertumbuhan PDB.

“Untuk mengatasi defisit transaksi berjalan, maka pemerintah perlu melakukan perluasan kapasitas industri manufaktur dan tentunya mengurangi subsidi BBM,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait