Sejumlah LSM meminta DPR menghentikan pembahasan RUU Pemberantasan Perusakan Hutan (P2H). RUU yang rencananya disahkan pada April mendatang ini dinilai sarat dengan masalah, baik itu dari segi substansi maupun proses pembahasannya. Perkumpulan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) menyatakan pembahasan RUU P2H tidak transparan.
“Kami meminta hentikan pembahasan RUU P2H,” ujar Koordinator Program Pembaruan Hukum dan Resolusi Konflik HuMa, Siti Rakhma Mary di Jakarta, Jumat (22/3).
Dikatakan Rakhma, penerapan RUU P2H jika nanti resmi menjadi undang-undang, akan berdampak pada masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal.Dia bahkan khawatir RUU P2H ini akan mengkriminalisasi masyarakat hukum adat. Tidak hanya itu, menurut Rakhma, aparat yang berwenang juga akan kesulitan karena substansi RUU P2H tidak jelas.
Kedua hal yang disoroti Rakhma terkait dengan rumusan Pasal 1 butir 5 dan 6. Butir 5 berbunyi “Penggunaan kawasan hutan secara tidak sah adalah kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam kawasan hutan untuk perkebunan dan/atau pertambangan tanpa izin Menteri”.
Lalu,Butir 6 berbunyi “Terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih,dan yang bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang melakukan perladangan tradisional”.
Menurut Rakhma, definisi kata “terorganisasi” tidak jelas sehingga dikhawatirkan dapat berujung pada kriminalisasi masyarakat hukum adat. Frasa “peladangan tradisional” juga dinilai tidak jelas sehingga berpotensi menyulitkan aparat yang berwenang.
Lebih lanjut, Rakhma mengkritik lingkup definisi pembalakan liar yang diatur dalam RUU P2H. Dia berpendapat, pembalakan liar seharusnya tidak hanya didefinsikan “penebang kayu tanpa izin”, tetapi juga mencakup “pemanfaatan kayu hasil hutan di luar kawasan izin dan dalam radius tertentu dari kawasan yang dilindungi”.