Masalah Hak Tanggungan untuk Hunian Orang Asing
Utama

Masalah Hak Tanggungan untuk Hunian Orang Asing

Akademisi dan bankir memberikan pendapat tentang boleh tidaknya Hak Pakai sebagai Hak Tanggungan untuk mendapatkan kredit dari bank.

FITRI N. HERIANI
Bacaan 2 Menit
Tenaga Kerja Asing di Indonesia. Foto: RES
Tenaga Kerja Asing di Indonesia. Foto: RES

PP No. 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia mempertegas peluang Warga Negara Asing (WNA) untuk memiliki tempat tinggal dengan status Hak Pakai (HP). WNA dapat memiliki rumah tapak atau apartemen selama puluhan tahun.

Masalah yang sering timbul selama ini adalah keengganan kalangan perbankan membiayai pembangunan hunian untuk WNA dengan status hak pakai. Dalam seminar ‘Pengaruh Berlakunya PP No. 103 Tahun 2015 Terhadap Perkembangan Bisnis Properti di Indonesia’, Kamis (18/2), masalah ini juga mengemuka. Acara yang digelar Forum Kajian dan Konsultasi Pertanahan (FK2P) dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti tersebut, mencoba menjawab apakah HP bersifat bankable (diterima kalangan perbankan)?

Untuk menjawabnya bisa dirujuk Pasal 4 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Berdasarkan ayat (1) pasal ini, hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan (HT) adalah hak milik, hak guna usaha (HGU), dan hak guna bangunan (HGB). Mengenai HP, ayat (2) menyebutkan HP atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan.

Berangkat dari rumusan Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU Hak Tanggungan tersebut, Guru Besar Hukum Agraria Universitas Indonesia Arie Sukanti Hutagalung berpendapat HP bisa dijadikan Hak Tanggungan atas kredit di perbankan. Masalahnya, sesuai ketentuan, HP itu harus berada di atas tanah negara atau di atas Hak Pengelolaan (HPL). “Kalau untuk hak pakai di atas hak milik, itu tidak diatur dalam undang-undang,” kata Arie kepada hukumonline, Kami (18/2).

Bankable?
Selama ini proyek hunian di atas tanah dengan status HP sulit mendapatkan kredit. Sulit bukan berarti tidak boleh. Direktur Departemen Bank Indonesia, Imam Subarkah, mengatakan pemberian kredit kepada asing oleh perbankan tidak dilarang. Hal tersebut jelas diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 17/14/PBI/2015 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah, khususnya Pasal 15 huruf D. Jadi, kata Imam, HP bisa digunakan sebagai Hak Tanggungan.

Meski begitu, Imam mengingatkan setiap bank memiliki aturan sendiri untuk dapat menerima HP sebagai Hak Tanggungan. Mengapa? Karena terkait dengan pemberian kredit atau pembiayaan, bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit/pembiayaan. “Dalam konteks kredit itu diserahkan ke bank (menerima HP). Memang secara UU diatur, tapi apakah HP itu aman? Bank banyak menolak karena HP sebagai Hak Tanggungan itu dinilai terlalu berisiko,” jelas Imam.

Praktisi Hukum Agraria Chairul Basri Ahmad bisa memahami penolakan oleh bank untuk membiayai proyek hunian untuk orang asing dengan status HP. Ia berpendapat masalah ini antara lain disebabkan “image” HP yang terbentuk dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

Misalnya, HP tidak didaftarkan, padahal jika merujuk Pasal 19, 23, 32, dan 38 UUPA, HP seharusnya didaftarkan. Selanjutnya, HP Atas Tanah yang langsung dikuasai oleh Negara, HP hanya dapat dialihkan dengan izin pejabat yang berwenang.

Namun sesuai Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965 yang diperkuat dengan PP No. 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai atas TanahHP harus didaftar dan diterbitkan surat-surat tanda bukti hak sesuai dengan ketentuan Pasal 19, 23, 32, dan 38 UUPA. Sehingga, peralihan HP oleh pejabat yang berwenang harus dicabut dan tidak dapat diberlakukan lagi. “Sekarang kan lama HP-nya sudah hampir sama dengan HGB, dan sudah didaftar juga sehingga ada surat-suratnya. Harusnya sudah disamakan (statusnya) dengan HGB,” kata Chairul.

Chairul tidak menutup mata atas fakta bahwa tak semua bank memahami hal tersebut sehingga HP masih tidak memiliki akses untuk memperoleh kredit atau pembiayaan. Agar perbankan tak lagi ‘alergi’ menerima HP sebagai Hak Tanggungan dalam kredit/pembiayaan, Chairul berpendapat sudah sepatutnya BI melakukan sosialisasi kepada perbankan melalui Surat Edaran (SE).
Tags:

Berita Terkait