PP Hunian Orang Asing, Beberapa Kali Direvisi Masih Saja Menuai Polemik
Fokus

PP Hunian Orang Asing, Beberapa Kali Direvisi Masih Saja Menuai Polemik

Selama masih memiliki ruh nasionalis, PP Hunian WNA tidak perlu dipersoalkan. Akan tetapi, perlu diperjelas beberapa hal.

Oleh:
YOZ/RFQ/HAG/FNH
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi warga negara asing. Foto: RES
Ilustrasi warga negara asing. Foto: RES
Tempat tinggal atau hunian merupakan sesuatu yang mutlak bagi setiap orang. Kebutuhan akan tempat tinggal tidak hanya dirasakan warga negara Indonesia, tetapi juga warga negara asing. Untuk memenuhi kebutuhan ini, tentunya dibutuhkan pengaturan terkait hak atas tanah untuk perumahan, temasuk tata cara dan syarat-syarat pemberian hak atas tanah bagi orang asing.

Pemerintah baru saja menerbitkan (PP) No.103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Sebelum PP ini terbit, sebenarnya sudah ada perangkat hukum yang mengatur hak-hak atas tanah, penggunaan dan pemanfaatan tanah serta pengakhiran hubungan hukum atas penguasaan tanah, berikut rumah di atasnya, khusus yang berkenaan dengan pengaturan hak pakai atas tanah dan bangunan tempat tinggal bagi warga negara asing.

Perangkat hukum tersebut yakni UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok Agaria (UUPA), UU No.16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, UU No.4 Tahun 1994 tentang Perumahan Dan Permukiman, PP No.40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah, PP No.41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia.

Namun, PP yang terbit pada 12 Januari 2015, itu menuai beragam tanggapan. Masih ada kemungkinan penerapan PP No.103 Tahun 2015 menimbulkan masalah di lapangan. Persoalan-pesoalan yang muncul antara lain, bila terjadi sengketa antara suami isteri yang berbeda kewarganegaraan.  

Pasal 3 ayat (2) PP No.103 Tahun 2015 menyatakan, ‘hak atas tanah sebagaimana dimaksud, bukan merupakan harta bersama yang dibuktikan dengan perjanjian pemisahan harta antara suami dan istri, yang dibuat dengan akta notaris.’ Menurut pengamat properti, Ali Tranghanda, status tanah dan properti seperti itu dapat memunculkan sengketa antara pasangan suami isteri yang berbeda kewarganegaraan.

Komunitas Perkawinan Campuran (PerCa) Indonesia berpendapat sama. Tim Advokasi PerCa Indonesia, Rulita Anggraini, mengatakan setidaknya ada tiga hal yang perlu diperjelas mengenai pasal yang mengatur hak milik bagi pasangan kawin campur. Pertama, apakah perjanjian pemisahan harta yang terdapat dalam Pasal 3 PP No.103 tahun 2015 hanya sebagai pembuktian.

Lalu, apakah perjanjian pemisahan harta tersebut menjadi pembuktian ketika akan menjual hak milik tersebut atau apakah pada saat membeli hak milik tersebut. Menurut Rulita, pihaknya telah mengirimkan surat kepada Menteri Hukum dan HAM, Yassona Laoly, agar memberikan penjelasan. 

Terbitnya PP No.103 Tahun 2015 juga mendapat perhatian dari parlemen. Wakil Ketua DPR Fadli Zon berpandangan, terbitnya PP itu tak saja bentuk kemunduran, tapi mengancam agenda reforma agraria. Ia menilai pemerintah terlampau kalap mengejar pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, cederung mengabaikan kebijakan logis, tak sinkron dan tidak berpikir jangka panjang.

Pasal 2 ayat (1) PP tersebut menyatakan, “Orang Asing dapat memiliki rumah untuk tempat tinggal atau hunian dengan Hak Pakai”. Sedangkan Pasal 6 ayat (2) menyebutkan, “Hak Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun”. Menurut Fadli, menjadi pertanyaan ketika perpanjangan melebihi dari 20 tahun.

Politisi Partai Gerindra itu berpandangan PP No.103 Tahun 2015 tidak membatasi hak pakai diberikan hanya atas tanah negara sebagaimana diatur dalam UU No.5 Tahun 1960. Ia berpendapat, dalam jangka panjang PP No.103 Tahun 2015 akan menjadi hambatan serius terhadap agenda reformasi agraria di Indonesia. Pasalnya, kepemilikan lahan akan kian terkonsentrasi di tangan segelintir orang, tidak terkecuali WNA.

Namun, pengacara yang bergelut di bidang properti M. Joni berpendapat berbeda. Menurutnya, tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan adanya PP No.103 Tahun 2015. Semua pihak tak perlu khawatir Negara akan tergadaikan dengan adanya PP ini. Apalagi, UU PA sudah mengatur bahwa WNA memiliki hak pakai.

“Selagi tidak melanggar UU PA, silakan saja. Selama tidak melanggar asas nasionalitas menurut saya silakan saja,” katanya.

Joni mengakui saat ini Indonesia berada pada dua posisi yang harus diintegrasikan yaitu mengintegrasikan kebutuhan orang asing yang tinggal di Indonesia untuk bisa memiliki hunian, sehingga warga asing yang memiliki kepentingan di Indonesia diberikan medium yang pas melalui lahirnya PP tersebut.

Dia juga menyarankan sebaiknya definisi orang asing tidak hanya bergantung pada definisi yang terdapat dalam UU Keimigrasian. Yang terpenting, lanjut Joni, izin dengan hak pakai yang diberikan kepada WNA harus ada alasan yang jelas dan kebermanfaatan untuk Negara.

Ketua Dewan Pengurus The Housing Urban Development (The HUD Institute), Zulfi Syarif Koto, berbeda lagi. Dia mendukung kebijakan yang memberikan kepemilikan properti bagi asing dengan beberapa persyaratan.

Menurutnya, perlu ada pembatasan bahwa asing memiliki hak pakai atas bangunan, bukan hak milik atas tanah. Kedua, pemerintah harus memiliki peta zonasi yang jelas. Kepemilikan properti oleh asing, lanjutnya, tidak bisa diberlakukan di semua lokasi atau daerah. Ketiga, jenis bentuk properti yang bisa dimiliki asing harus jelas, beserta luas yang bisa dimiliki.

Dia juga mengingatkan agar pemerintah pusat tidak meninggalkan pemerintah daerah saat membuat dan menjalankan kebijakan PP tersebut. Sebab, lokasi yang diminati asing banyak terletak di daerah.

Sebelum PP No.103 Tahun 2015 terbit, Zulfi mengaku telah memberikan masukan kepada pemerintah. HUD lebih mendorong revisi PP No.41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia ketimbang membuat regulasi baru.

“Cuma, Pemerintah akhirnya memilih membuat beleid baru yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku PP No.41 Tahun 1996,” katanya.

Terlepas dari polemik di atas, niat pemerintah menerbitkan PP No.103 Tahun 2015 bisa dibilang sudah baik. Apalagi, Presiden Joko Widodo membuka lebar investor asing untuk berkontribusi dan menanamkan modalnya di Indonesia. Mungkin saja, PP ini sebagai salah satu cara dari pemerintah agar asing bisa lebih lama memberikan kontribusi pada perekonomian. Namun, tetap dibutuhkan regulasi yang jelas dan tidak merugikan semua pihak.
Tags:

Berita Terkait