Ini Kata Pelaku Usaha Terkait PP Hunian WNA
Berita

Ini Kata Pelaku Usaha Terkait PP Hunian WNA

PP 103/2015 bisa menjadi payung hukum bagi pengembang untuk menggarap pasar WNA.

KAR
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi WNA. Foto: RES
Ilustrasi WNA. Foto: RES
Kendati memberikan jangka waktu kepemilikan hunian yang lebih lama bagi warga negara asing (WNA), nyatanya Peraturan Pemerintah (PP) No.103 Tahun 2015 kurang disambut antusias oleh pelaku industri properti. Ketua Dewan Pengurus Daerah Real Estate Indonesia (REI) DKI Jakarta, Amran Nukman, mengatakan pasar domestik hingga saat ini lebih menjanjikan dibandingkan dengan orang asing. Oleh karena itu, ia menilai kehadiran PP No.103 Tahun 2015 belum bisa diharapkan terlalu banyak untuk mendongkrak penjualan bagi WNA.

Menurut Amran, di satu sisi ia yakin bahwa terbitnya PP tersebut membuat warga asing bergembira. Namun, kesempatan itu belum bisa dirasakan dalam waktu dekat. Pertama, terkait dengan adanya peristiwa bom di kawasan Sarinah. Amran melihat, hal itu dapat menjadi ganjalan sehingga WNA menahan diri untuk tinggal di Indonesia.

Kedua, PP itu terbit saat pasar global, Eropa, Amerika, dan Cina sedang melambat. Dengan demikian, dana asing yang diharapkan mengalir deras ke Indonesia tertangguhkan. “Kita tidak bisa terlalu jauh berekspektasi berapa manfaat nilai atau dana yang bisa masuk ke Indonesia. Pertumbuhan yang diharapkan masih didorong pasar domestik, bukan oleh orang asing," kata Amran kepada hukumonline, Jumat (22/1).

Lelaki yang sehari-hari menjabat sebagai Direktur Metland Group itu menjelaskan, WNA yang tinggal dan bekerja di Indonesia masih terbatas. Ia mengatakan, memang ada lebih dari sepuluh ribu orang asing baru yang masuk ke Indonesia. Tapi dari jumlah itu, tidak banyak yang memiliki kemampuan membeli properti dengan harga di atas Rp10 miliar atau sekitar AS$700.000.

Untuk diketahui, Kementerian Keuangan telah menyampaikan usulan agar hunian yang boleh dimiliki oleh WNA dikenakan pajak barang mewah (PPnBM). Dalam rencananya, properti yang terkena PPnBM adalah dari harga minimal sebesar Rp5 miliar dengan tarif PPnBM 10%. Kemudian, harga Rp7,5 miliar sebesar 15% dan harga di atas Rp10 miliar sebesar 20%. Adapun harga yang diusulkan sebagai batasan properti yang dapat dibeli oleh WNA adalah Rp10 miliar.

Selain kemampuan finansial, lanjut Amran, WNA di Indonesia juga masih terbatas dalam hal rentang waktu bekerja dan tinggal. Menurutnya, rata-rata WNA hanya bekerja dan tinggal selama dua hingga lima tahun. Sekalipun ada perpanjangan, lamanya waktu tinggal tidak membuat mereka sampai harus membeli hunian.

Di sisi lain, Amran tak menampik bahwa terbitnya PP No.103 Tahun 2015 mempercerah prospek industri properti. Terutama, karena telah ada kejelasan payung hukum bagi pengembang untuk menggarap pasar WNA. Ia pun mengaku, tetap ada kegembiraan bagi pengembang atas terbitnya PP itu.  "WNA kan rata-rata penghasilannya tinggi. Mereka bisa jadi pasar baru bagi pengembang,” tutur Amran.

Selain itu, Amran menampik bahwa pengembangan pasar properti di kalangan WNA akan mengganggu permintaan dalam negeri. Ia memastikan, persediaan properti bagi masyarakat domestik. Sebab, menurutnya jumlah hunian yang diproduksi bisa disesuaikan. "WNA itu pasar yang baru, tidak mengganggu. Produksi hunian bisa ditingkatkan jumlahnya," tandasnya.

CEO Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghada, mengatakan hal yang sama terkait terbitnya PP No.103 Tahun 2015. Menurutnya, aturan kepemilikan asing yang terus disempurnakan tidak akan berdampak signifikan bagi penerimaan devisa di Indonesia saat ini.

Dia mengatakan, yang menjadi alasan utama WNA membeli sebuah properti di sebuah negara lebih dikarenakan kondisi ekonomi dan prospek usaha yang baik di sebuah negara sehingga WNA akan datang dengan sendirinya dan tinggal di negara tersebut. Kepastian hukum juga menjadi salah satu alasan bagi kepemilikan asing.

“Jadi jangan dibolak-balik mind set-nya, bukan karena adanya aturan kepemilikan asing kemudian WNA akan datang. Tanpa adanya aturan kepemilikan asing yang baru pun, WNA akan datang bila ada kepentingan ekonomi dan usaha yang baik di Indonesia.” jelas Ali.
Tags:

Berita Terkait