Membongkar Kerancuan Regulasi Minerba di Indonesia
Meneropong Bisnis Tambang Pasca PP Minerba

Membongkar Kerancuan Regulasi Minerba di Indonesia

Kurang lebih terdapat 5 problem hukum yang secara mudah bisa diidentifikasi dari keberadaan regulasi tentang Minerba.

M DANI PRATAMA HUZAINI/YOZ
Bacaan 2 Menit

Problem ketiga, proses dan tahapan pembentukan Permen ESDM. Waktu dikeluarkannya PP No. 1 Tahun 2017, Permen ESDM No.5 Tahun 2017, dan Permen ESDM No. 6 Tahun 2017 adalah 11 Januari 2017. Artinya, dapat dikatakan bahwa secara periodik, ketiga instrumen hukum ini dikeluarkan secara bersamaan. Hal ini yang membuat ketiganya menarik untuk dikaji menggunakan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Konsideran Permen ESDM No.6 Tahun 2017 menyebutkan dasar hukumnya Permen ESDM No. 5. Kemudian, Konsideran Permen ESDM No.5 Tahun 2017 yang menyebutkan dasar hukum PP No. 1 Tahun 2017.

Pasal 1Angka 1 UU No. 12 Tahun 2011 menyatakan, Pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan melalui tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Hal berarti teknik pembuatan peraturan perundang-undangan harus melewati tahapan-tahapan tersebut.

“Artinya kalau membuat UU, membuat PP, membuat Permen, membuat Perda, itu harus tunduk patuh sesuai dengan UU PUU itu. Tidak bisa seenaknya sendiri, buat teknik sendiri tidak bisa,” ujar Bisman.

Berkaitan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, dalam Pasal 5 UU No.12 Tahun 2011 disebutkan adanya asas keterbukaan. Asas ini dimaknai bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dalam setiap tahapannya harus bersifat transparan dan terbuka. Sehingga ada ruang bagi partisipasi publik untuk memberikan masukan, koreksi, dan aspirasi.

Menurut Bisman, hal itu menarik untuk dianalisis.Dengan durasi pembentukan 3 peraturan perundang-undangan yang sedemikian singkat, apakah sempat melibatkan partisipasi publik di dalamnya. Sementara hal ini telah menjadi amanat dari asas keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Problem keempat, terkait pemberian izin ekspor mineral logam. Pada Permen ESDM No.5 Tahun 2017yang mengatur tentang peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral dalam negeri dan Permen ESDM No.6 Tahun 2017 yang mengatur tata cara dan persyaratan pemberian rekomendasi ekspor, pada intinya adalah membolehkan malakukan penjualan ke luar negeri dengan beberapa prasyarat tertentu.

Hal yang mesti dimaknai secara hukum,ini bertentangan dengan Pasal 103 UU Minerba, yang mewajibkan melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri,di mana hal ini  telah diperkuat oleh putusan MK No. 10/PUU-XII/2014. Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat multi tafsir dan pertentangan konstitusi tentang kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.

Open Legal Policy
Hal yang sama diungkapakan Ahmad Redi, pengamat pertambangan yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil yang sedang melakukan uji materil terhadap PP No.1 Tahun 2017 dan Permen ESDM No.5 Tahun 2017 serta Permen ESDM No.6 Tahun 2017. Menurutnya, kewajiban larangan ekspor itu adalah open legal policy.

Ahmad mengatakan bila dimaknai secara bulat, Pasal 103 UU Minerba menyatakan bahwa setiap pemegang IUP/IUPK wajib melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Kemudian dalam Pasal 39 UU Minerba dinyatakan, ketika IUP Eksplorasi akan naik menjadi IUP Operasi Produksi, maka di situ harus ada lokasi pengolahan dan pemurnian.

“Secara hukum, harus kita sepakati bahwa ketika pemegang IUP/IUPK itu, (ketika) naik (statusnya) dari (IUPK) eksplorasi menjadi (IUPK) OP maka harus melakukan pegolahan dan pemurian di dalam negeri,”ujar Ahmad.

Bisman melanjutkan problem kelima, yakni terkait perubahan Kontrak Karya menjadi IUPK. Pasal 17 angka 2, Pemegang Kontrak Karya Mineral Logam dapat melakukan penjualan hasil pengolahan ke luar negeri dalam jumlah tertentu paling lama 5 (lima) tahun sejak berlakunya Peraturan Menteri ini setelah melakukan perubahan bentuk pengusahaan pertambangannya menjadi IUPK Operasi Produksi dan membayar bea keluar sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan serta memenuhi batasan minimum pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Hal ini bermaksud untuk memberikan izin ekspor mineral logam sepanjang pemegang Kontrak Karya telah berubah menjadi IUPK.

Bisman membandingkan dengan tata cara terbitnya IUPK sebagaimana yang diatur Pasal 13, Pasal 27-Pasal 32, dan Pasal 74–Pasal 83 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba. IUPK sebagaimana yang diatur oleh UU No. 4 Tahun 2009, sebenarnya adalah izin usaha yang diberikan berasal dari Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK). WIUPK ini berasal dari Wilayah Pencadangan Negara (WPN).
Hukumonline.com
Tags:

Berita Terkait