Mempersoalkan Frasa "Gangguan Lainnya" Sebagai Syarat Penundaan Pemilu
Utama

Mempersoalkan Frasa "Gangguan Lainnya" Sebagai Syarat Penundaan Pemilu

Dalam petitumnya, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 431 ayat (1) serta Pasal 432 ayat (2) UU Pemilu terhadap frasa gangguan lainnya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit

Menurut Viktor, dampak dari Putusan PN 757/2022 apabila tidak dilaksanakan, maka dapat menyebabkan pelaksanaan penyelengggaraan Pemilu sebagian menjadi cacat hukum. Hal tersebut juga karena jika KPU sebagai Tergugat tidak menjalankan putusan tersebut akan membangkang. Belum lagi, KPU tetap melaksanakan penyelenggaraan pemilu pasca Putusan PN 757/2022 kendati upaya hukum banding dilakukan.

Viktor mengingatkan terdapat asas “Res Judicata Pro Veritate Habetuur” yang pada pokoknya mengartikan bahwa putusan harus dianggap benar dan dapat dilaksanakan (uitvoerbaar bij voorraad) hingga adanya koreksi/pembatalan putusan tersebut oleh Putusan Pengadilan yang berada diatasnya in casu Banding dan Kasasi hingga Peninjauan Kembali.Bila mengacu pada asas res judicata pro veritate habetuur dan uitvoerbaar bij voorraad, idealnya KPU harus tetap melaksanakan Putusan PN 757/2022 sambil melakukan upaya hukum berikutnya yakni Banding, Kasasi, PK sampai putusannya bersifat inkracht.

“Karena sejatinya kekuatan mengikat putusan tentunya hanya dapat dibatalkan dengan produk yang sejenis yakni putusan. Namun perlu dipahami bahwa upaya Banding, kasasi hingga PK tentunya membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Sementara sehari saja pelaksanaan penyelenggaraan pemilu tidak dilaksanakan, maka potensi tidak terlaksananya penyelenggaraan pemilu pada sebagian daerah ataupun seluruh daerah semakin besar terjadi,” urainya.

Sementara apabila KPU tetap melaksanakan penyelenggaraan pemilu, kata Viktor, terdapat konsekuensi ancaman hukum yang sedang menanti. Misalnya, Penggugat dari pihak lain dapat saja menggugat KPU ke Pengadilan Tata Usaha Negara karena dianggap telah melakukan Perbuatan Melanggar Hukum (Onrechtmatige overheidsdaad) in casu tidak melaksanakan Putusan PN 757/2022. Artinya, sambung Viktor, KPU menjadi berada dalam posisi yang dilematis dan lemah secara hukum dalam melaksanakan Penyelenggaraan Pemilu. Hal ini dapat menjadi dasar untuk dilakukannya Pemilu Susulan dan/atau Pemilu Lanjutan karena dianggap memenuhi syarat masuk dalam bentuk “gangguan lainnya”.

Karena itu, ketentuan norma Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017 terhadap frasa “gangguan lainnya” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karenanya alasan pemohon adalah beralasan menurut hukum. Dalam petitumnya, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 431 ayat (1) serta Pasal 432 ayat (2) UU Pemilu terhadap frasa “gangguan lainnya” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Harus dielabolasi

Menanggapi permohonan tersebut, Anggota Majelis Panel M. Guntur Hamzah mengatakan secara teknis pemohonan sudah lengkap termasuk kedudukan hukum. Ia mengatakan dalam kedudukan hukum pemohon yang mendalilkan selaku warga negara yang memiliki hak pilih harus dielaborasi dengan alasan permohonan mengenai keberadaan frasa “gangguan lainnya”.

“Hanya saja perlu diperkuat lagi atau diperdalam bagaimana menyambungkan dengan frasa gangguan lainnya ini meskipun sudah ada, tetapi perlu dipertajam lagi. Dimana nih korelasinya hak pilih Saudara dengan frasa ‘gangguan lainnya’ dalam petitum dipandang multitafsir, dalam bahasa konstitusi tidak memiliki kepastian hukum. Jadi tolong perlu dipertajam lagi mungkin bisa dilihat apabila ini terjadi, seperti yang Saudara katakan tadi sebagai pemilih akan terganggu hak pilihnya,” saran Guntur.

Anggota Majelis Panel lainm Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta agar pemohon mengelaborasi alasan permohonannya yang dinilainya belum terlihat adanya keterkaitan. Ia menilai undang-undang tidak dapat mengunci penafsiran secara rinci karena bisa saja ada peristiwa seperti Pandemi Covid-19. Belum lagi, dalam Pasal 432 ayat (3) UU Pemilu, sudah memberikan persentase syarat Pemilu Lanjutan atau Pemilu Susulan.

“Artinya memang ini sudah dilaksanakan, tetapi ada persentase yang menyebabkan tidak ketidakterlaksanaannya itu karena apa bisa jadi faktor-faktor yang ada dalam Pasal 432 ayat (1) dan ayat (2)-nya itu. Tapi UU Pemilu sudah punya rumusan di situ, kapan ini akan dikatakan sebagai Pemilu susulan dan kapan pemilu itu (dikatakan) Pemilu lanjutan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait