Mempertanyakan Konsistensi Pemerintah Terkait Wacana Pengampunan Pajak Jilid II
Berita

Mempertanyakan Konsistensi Pemerintah Terkait Wacana Pengampunan Pajak Jilid II

Seharusnya pemerintah konsisten menegakan sanksi sesuai amanat UU Pengampunan Pajak.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit

 

“Yang sudah patuh diberikan insentif, yang tidak patuh dikejar dan tegakkan law enforcement-nya,” tegasnya.

 

Pasal 18:

  1. Dalam hal Wajib Pajak telah memperoleh Surat Keterangan kemudian ditemukan adanya data dan/atau informasi mengenai Harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan, atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud.
  1. Dalam hal:
  1. Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pernyataan sampai dengan periode Pengampunan Pajak berakhir; dan
  2. Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi mengenai Harta Wajib Pajak yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015 dan belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud, paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
  1. Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan dan ditambah dengan sanksi administrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar.
  1. Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai pajak dan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

 

Senada, pengamat perpajakan Darussalam mendukung pemerintah untuk melakukan penegakan hukum sesuai dengan Pasal 18 UU Pengampunan Pajak. Dia menilai, pemerintah seharusnya konsisten melaksanakan aturan yang sudah dituangkan dalam UU Pengampunan Pajak.

 

“Saya pikir jalankan saja undang-undang yang sebelumnya karena kampanye saat TA adalah anda silakan mengikuti pengampunan pajak atau pilihannya ketika anda tidak mengikuti, anda sudah siap dengan risiko penegakan hukum dan sanksinya. Kampanyenya kan seperti itu. ya sudah, jalankan saja menurut undang-undang yang berlaku saat ini tanpa harus membuat yang baru lagi,” kata Darussalam.

 

(Baca: Tindak Pidana Perpajakan Bisa Jadi Pintu Masuk Pengujian MLA)

 

Pada pelaksanaan TA Jilid I lalu, pemerintah sukses mengumpulkan dana sebesar Rp114 triliun. Meskipun masih jauh dari target penerimaan pajak, tapi dana besar ini diduga menjadi alasan bagi pemerintah untuk kembali melaksanakan program TA Jilid II.

 

“Dan memang total penerimaan hasil pengampunan pajak di Indonesia itu yang terbesar di dunia. Saya rasa inilah godaannya TA Jilid II,” tambahnya.

 

Lebih jauh, Darussalam meminta semua pihak untuk tak terlalu mengedepankan total penerimaan pajak, baik dari sanksi maupun TA Jilid II. Menurutnya, hal terpenting yang harus dilakukan adalah fokus pada penegakan hukum di sektor pajak.

 

“Apapun hasil dari sanksi dan TA Jilid II, itu jangan jadi yang utama. Yang penting adalah pajak itu hukumnya ditegakkan, law enforcement-nya, jangan dikaitkan lagi kalau dengan penegakan hukum berapa, dengan tax amnesty berapa,” pungkasnya.

 

Tags:

Berita Terkait