Mengintip Reforma Agraria dan Persoalan yang Tak Kunjung Rampung
Berita

Mengintip Reforma Agraria dan Persoalan yang Tak Kunjung Rampung

Program reforma agraria bukan hanya sekedar bagi-bagi tanah.

CR-20
Bacaan 2 Menit
Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan A. Djalil. Foto: RES
Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan A. Djalil. Foto: RES
Salah satu tujuan reforma agraria adalah untuk memperbaiki struktur ketimpangan lahan, mengembalikan tanah pada esensinya yakni sebagai alat produksi pertanian yang berdampak pada peningkatan produktifitas serta menaikkan taraf hidup petani. Namun data Sensus Pertanian 2013 menyatakan sebaliknya.

Data itu mengungkapkan bahwa tiap menit, Indonesia kehilangan 0,25 hektar lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian. Jika 0,25 hektar lahan yang dikonversi itu dikelola oleh satu rumah tangga petani, maka akibat konversi lahan, setiap menit ada satu rumah tangga petani yang kehilangan sumber penghidupannya.

Hal ini pula melatarbelakangi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menggelar Hari Agraria dan Tata Ruang Nasional (HANTARU) pada akhir September lalu. Jika dikaitkan dengan perhitungan gini rasio, maka penguasaan tanah di Indonesia mendekati angka 0,59, yang berarti hanya sekitar satu persen penduduk menguasai 59 persen sumber daya agraria, tanah dan ruang.

Setidaknya, Kementerian ATR/BPN menancangkan empat program di bidang pertanahan dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2016-2019. Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil mengatakan, keempat program tersebut bertujuan untuk tercapainya reforma agraria.

Pertama, meningkatkan kepastian hukum hak atas tanah. Menurut Sofyan, legalisasi aset ini penting karena baru sekitar 45 persen tanah yang memiliki sertifikat. Targetnya hingga tahun 2019, tercapainya kepastian hukum di atas 23,21 juta hektar bidang tanah dengan menerbitkan 25 juta sertifikat dalam rangka legalisasi asset.

Kedua, meningkatkan kepastian ketersediaan tanah bagi kepentingan umum, terutama untuk proyek-proyek infrastruktur. Mulai dari pembangkit listrik 35.000 MW, jalan tol sepanjang 7.338 km, 24 bandar udara, jalur kereta api sepanjang 3.258 km, 24 pelabuhan laut, 5 juta unit rumah untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), 12 Kawasan Ekonomi Khusus, 15 Kawasan Industri, 78 unit stasiun Bahan Bakar Gas (BBG), 2 kilang minyak, dan pembangunan 65 waduk. (Baca Juga: PP Kepemilikan Rumah WNA, Kemunduran Reforma Agraria)

Ketiga, peningkatan pelayanan pertanahan dengan mengadakan program standarisasi terhadap juru ukur bersertifikat yang akan bekerja di bawah pengawasan BPN untuk mempercepat proses pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia. Satu program lagi bertujuan untuk memperbaiki porsi kepemilikan, penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Konsep Reforma Agraria yang diusung adalah dengan melakukan legalisasi aset dan redistribusi lahan atau disebut Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).

Di atas kertas, TORA dicanangkan seluas 9 juta hektar yang terdiri 4,5 juta hektar untuk legalisasi aset dan 4,5 juta untuk redistribusi lahan. Legalisasi aset terdiri dari 0,6 juta hektar tanah transmigrasi yang belum bersertifikat dan 3,9 juta hektar tanah untuk legalisasi aset masyarakat. Sedangkan untuk redistribusi lahan, terdiri dari 0,4 juta hektar tanah terlantar dan 4,1 juta hektar tanah pelepasan kawasan hutan.

Konsep reforma agraria memicu pakar hukum agraria, Suparjo Sujadi angkat bicara. Menurtnya, reforma agraria pada dasarnya bukan hanya sekedar bagi-bagi tanah semata. “UU Pokok Agraria lahir sebagai euphoria politik pada masa itu untuk menciptakan masyarakat sosialisme Indonesia. Konsep land reform di seluruh dunia itu adalah land to the farm, tanah untuk tani. Tetapi kelemahannya dibanding negara lain, tidak adanya insentif dari pemerintah bagi petani yang menyentuh ekonomi pertanian dan ekonomi kerakyatan secara riil,” katanya kepada hukumonline.

Ia mengatakan, ketidakberhasilan land reform di Indonesia selama ini dipicu beberapa persoalan. Salah satunya karena laju produktifitas pertanian yang kalah jauh dengan laju percepatan pertumbuhan ekonomi maupun industri. “Saya mengkhawatirkan, karena persoalan dasarnya tidak dipahami, akhirnya jadi adu cepat. Tatanan ideal sebagai cita-cita land reform dengan redistribusi lahan khususnya pada sektor pertanian akhirnya tidak tercapai. Program apapun pada akhirnya non-sense, jika konsep dasarnya tidak dipahami, akhirnya justru jadi clash program.”

Kritikan juga diutarakan Wakil Sekjen Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Dewi Kartika. Ia menilai, program reforma agraria dari pemerintahan Jokowi ini mengulang kesalahan seperti yang dilakukan pemerintahan sebelumnya. “Jadi seolah-olah permasalahan reforma agraria ini hanya sebatas legalisasi aset saja. Padahal proses sertifikasi aset itu merupakan kegiatan rutin dari BPN, sementara legalisasi aset dalam kerangka agenda reforma agraria itu dilakukan untuk memperbaiki ketimpangan yang terjadi,” ujarnya.

Dewi juga mempermasalahkan subjek dan objek yang dimaksud dalam TORA. Menurutnya, kedua hal tersebut tidak efektif dalam memperbaiki situasi ketimpangan dan menyelesaikan konflik agraria. Padahal, masalah agraria lebih luas dari hanya persoalan legalisasi aset semata. (Baca Juga: Gawat! Produksi Pangan Terancam, Reforma Agraria Dibutuhkan)

“TORA itu tidak boleh top-down dimana pemerintah secara sektoral menentukan dengan kacamatanya masing-masing. Lalu dimana posisi masyarakat sipil terutama para petani gurem, land-less, dan korban dari konflik agraria, yang merupakan subjek dari reforma agraria. Seharusnya pemerintah melakukan identifikasi tanah-tanah yang menjadi objek reforma agrarian di lokasi konflik. BPN kan selama ini kejarannya jumlah target sertifikat dan luas bidang tanah, jadi tidak masalah jika tidak tepat subjek dan objeknya,” tuturnya.

Ketimpangan Lahan Turun
Sebelumnya, Inspektur Jenderal Kementerian ATR/BPN Yuswanda A Temenggung mengatakan, ketimpangan pemilikan dan penguasaan lahan dapat diselesaikan dengan menginjeksi 9 juta hektar lahan sebagai objek reforma agraria. Sehingga, gini rasio yang menunjukkan angka ketimpangan lahan menjadi turun.

“Simulasinya dari posisi sekarang di 0,59 tetapi jika kita inject 3 juta hektar, itu menjadi sekitar 0,47. Terus kita inject hingga 9 juta hektar, itu bisa menjadi 0,32 atau 0,33. Jadi sudah sangat baik,” kata Yuswanda.

Suparjo menanggapi hal tersebut. Menurutnya, berdasarkan logika percepatan legalisasi aset dilaksanakan setelah redistribusi lahan dalam program reforma agraria dilaksanakan. “Berdasarkan logika yang runut, percepatan legalisasi aset seharusnya dilaksanakan setelah redistribusi lahan dalam kerangka reforma agraria telah dilaksanakan. Ketika struktur penguasaan lahan ditata ulang, sudah pasti akan terjadi legalisasi aset,” ujarnya.

Hal serupa juga diutarakan Dewi, Ia menilai, pernyataan Kementerian ATR/BPN tersebut secara praktik di lapangan juga sulit untuk direalisasikan. “Tidak bisa melihat ketimpangan lahan hanya menggunakan indeks rasio gini yang diklaim oleh pemerintah. Misalnya saja data Sensus Pertanian yang menyatakan bahwa selama 10 tahun terakhir terjadi indeks penurunan petani gurem. Pemerintah kemudian mengklaim dengan data ini bahwa jumlah petani miskin berkurang. Padahal berkurangnya petani gurem itu bukan karena naik kelas, tetapi karena terlemparnya mereka ke sektor non-pertanian. Data ini justru harus dibaca sebagai hilangnya akses petani gurem terhadap tanahnya, sehingga sudah tidak bisa lagi survive menjadi petani,” pungkasnya. 
Tags:

Berita Terkait