Mengurai Problem Putusan Konstitusional Bersyarat dan Inkonstitusional Bersyarat
Fokus

Mengurai Problem Putusan Konstitusional Bersyarat dan Inkonstitusional Bersyarat

Selain potensi diuji kembali, terkadang penerapan model putusan bersyarat ini tidak tepat diterjemahkan dalam praktik. Dan seolah menempatkan MK sebagai positif legislator (pembentuk UU) karena dianggap membuat norma baru melalui model putusan seperti ini.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

“Apabila putusan MK dikabulkan (dengan menghapus/membatalkan pasal/ayat) bukan tidak mungkin terjadi kekosongan hukum. Makanya, agar tetap ada norma hukum yang berlaku, MK akhirnya memberi makna konstitusional bersyarat atau inkonstitusional bersyarat,” tegasnya.

 

Hukumonline.com

 

Menurutnya, ketika norma pasal, ayat dalam sebuah UU yang diputus konstitusional bersyarat berarti norma yang diuji menjadi tidak bertentangan dengan konstitusi (UUD Tahun 1945) apabila dimaknai sebagaimana dirumuskan MK. Sebaliknya, ketika norma pasal, ayat dalam UU yang diputus inkonstitusional bersyarat yakni norma yang diuji menjadi bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai sebagaimana dirumuskan MK.   

 

“Model putusan ini diadopsi dari putusan-putusan MK Korea. MK Korea telah menerapkannya dan kemudian diterapkan (ditiru) dalam putusan MK Indonesia,” katanya.

 

Hukumonline.com

Sumber: Pengertian Konstitusional Bersyarat dan Inkonstitusional Bersyarat

 

Mantan Hakim Konstitusi Harjono mengamini pandangan Fajar. Menurutnya, model putusan konstitusional bersyarat dan inkonstitusional bersyarat terinspirasi dari bentuk putusan di MK Korea. MK Korea selama ini mengenal jenis amar putusan secara bersyarat ini. “Satu ketika saya pernah membaca putusan MK Korea atau juga MK Jerman. Saya menemukan bentuk putusan konstitusional bersyarat dan inkonstitusional bersyarat. Model putusan konstitusional bersyarat biasanya lahir ketika materi PUU terdapat sesuatu hal yang ‘terpaksa’ harus diberikan kepastian dan keadilan,” kata Harjono.

 

Fajar mencontohkan pertama kali MK memutus perkara PUU secara konstitusional bersyarat pada putusan MK No. 58-59-60-63/PUU-II/2004 mengenai pengujian beberapa pasal dalam UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA). Meski putusannya ditolak, dalam putusannya, MK memasukkan klausula konstitusionalitas bersyarat (conditionally constitutional). Sehingga, UU SDA bersifat konstitusional sepanjang dalam pelaksanaannya pemerintah mengacu pada pertimbangan MK yang disampaikan dalam putusannya.

 

Syarat konstitusional yang dimaksud, sepanjang UU SDA dilaksanakan sebagai implementasi doktrin kewajiban negara dalam HAM yakni: menghormati (respect), melindungi (protect), dan memenuhi (fullfill) hak warga negara atas air. Selain itu, hubungan hukum yang dibangun harus merupakan manifestasi hubungan publik dalam lima fungsi yakni: (1) merumuskan kebijaksanaan (beleid); (2) melakukan tindakan pengurusan (bestuursdaad); (3) melakukan pengaturan (regelendaad); (4) melakukan pengelolaan (beheersdaad); dan (5) melakukan pengawasan (toezichthoudendaad).

 

Lalu, pada putusan MK No. 10/PUU-VI/2008 tanggal 1 Juli 2008 tentang pengujian Pasal 12 huruf c UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam amar putusannya, Pasal a quo tetap konstitusional sepanjang dimaknai memuat syarat domisili (calon anggota DPD) di provinsi yang akan diwakilinya.  

Tags:

Berita Terkait