Menkumham: UU Kepegawaian Multitafsir
Berita

Menkumham: UU Kepegawaian Multitafsir

Menjadi celah bagi advokat membela klien untuk menjadi pejabat publik, sehingga pemerintah setuju untuk merevisi undang-undang ini.

FAT
Bacaan 2 Menit
Amir Syamsuddin Menteri Hukum dan HAM. Foto: Sgp
Amir Syamsuddin Menteri Hukum dan HAM. Foto: Sgp

Fenomena Azirwan, mantan terpidana korupsi yang diangkat menjadi pejabat struktural di Provinsi Kepulauan Riau menuai protes dan perdebatan. Publik mempertanyakan tata kelola birokrasi yang terkesan tak serius dan tak mendukung antikorupsi serta membuang jauh-jauh efek jera bagi pejabat korup.

Salah satu dasar diangkatnya kembali pelaku korupsi sebagai pejabat dengan adanya Pasal 23 ayat (4) UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.

Menteri Hukum dan HAM,Amir Syamsuddin menilai, pasal tersebut menjadi celah bagi advokat membela kepentingan klien yang melakukan tindak pidana korupsi untuk tetap bisa diangkat sebagai pejabat struktural.

“Kata ‘dapat’ ini bisa menimbulkan penafsiran bahwa ada kewajiban yang bersifat fakultatif (sifatnya mengatur) tidak menjadi imperatif (sifatnya memaksa),” ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (20/11).

Terlebih, lanjut Amir,  karena kata ‘dapat’itu dikaitkan dengan ancaman hukuman yang lebih dari empat tahun. Penafsiran bagi para pengacara itu berkaitan dengan ancaman minimum pasal yang ada di UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor dan diubah dengan  UU No.20 Tahun 2001. Padahal seharusnya, yang dilihat bukanlah ancaman batas minimum, melainkan ancaman batas maksimum dari tiap pasal.

“Ini celahdari sisi pengacara. Karena pengacara yang memanfaatkan pasal-pasal yang ditafsirkan,” ujar Amir yang juga berlatar belakang advokat.

Atas dasar itu, Amir menilai tiap ayat dari Pasal 23 UU Kepegawaian tak konsisten satu sama lain. Menurutnya, ketidakkonsistenan klausul satu dengan klausul lainnya menjadi sebuah cara bagi pengacara untuk memanfaatkan kelemahan ini.

Halaman Selanjutnya:
Tags: