Mispersepsi APH Ganggu Penegakan Hukum Kehutanan
Berita

Mispersepsi APH Ganggu Penegakan Hukum Kehutanan

Beda pandangan dan beda tafsir terjadi di lapangan.

ADY
Bacaan 2 Menit
WALHI. Foto: Sgp
WALHI. Foto: Sgp
Kerusakan hutan di Indonesia semakin mencemaskan. Kondisi itu diperparah minimnya penegakan hukum di sektor kehutanan. Padahal, menurut Kepala Subdirektorat III Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Mabes Polri, N. Danang, penegakan hukum di sektor kehutanan sangat diperlukan. Polri mengakui banyak pelanggaran terjadi di sektor kehutanan yang belum diselesaikan sesuai harapan masyarakat.

Danang berdalih penegakan hukum beririsan dengan kebijakan tata kelola kehutanan, pemberian izin pengelolaan kawasan hutan dan pihak lain yang memanfaatkan kawasan hutan tidak sesuai prosedur. Karena itu, penegakan hukum sektor kehutanan tak bisa semata mengandalkan Polri. Harus ada sinergi seluruh pemangku kepentingan.

Sekadar contoh, dalam penentuan status kawasan hutan. Ketiadaan sinkronisasi kebijakan dan egosektoral menimbulkan tumpang tindih regulasi. Pada akhirnya kondisi ini menyebabkan konflik vertikal dan horizontal.

Kalaupun suatu kasus diputuskan dibawa ke pengadilan, belum tentu aparat penegak hukum (APH) satu visi. Kejaksaan beberapa kali mengembalikan berkas penyidikan Polri. Belum lagi kriteria ahli yang bisa dihadirkan dalam penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan perkara kehutanan. Danang mengakui perbedaan persepsi polisi dan jaksa acapkali menganggu proses penegakan hukum lingkungan.

Danang berpendapat bolak balik berkas penyidikan kasus kehutanan menganggu proses penegakan hukum. “Itu melemahkan proses penegakan hukum. Belum ada persamaan persepsi sehingga penegakan hukum tidak berjalan efektif,” katanya dalam diskusi yang digelar Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Rabu (18/6).

Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan, Sonny Partono, juga mengakui lemahnya penegakan hukum di sektor kehutanan. Regulasi yang ada selama ini belum bisa memberikan efek jera kepada pelaku. Misalnya, ancaman pidana dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Atas dasar itu pula lahir Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Aturan pidana dalam Undang-Undang ini diharapkan mampu lebih luas menjerat pelaku seperti cukong, backing, dan penadah kayu curian.

Sonny melanjutkan ada banyak tindak pidana kehutanan yang bisa diproses. Misalnya, penebangan pohon tanpa izin, perkebunan ilegal yang digelar korporasi atau masyarakat, pembakaran hutan, penambangan liar di kawasan hutan, konservasi kawasan hutan tidak sesuai ketentuan, perburuan liar dan penerbitan surat, dokumen serta izin secara tidak sah.

Cuma, ya itu tadi, antar aparat penegakan hukum belum satu persepsi. Bahkan, kata Danang, belum transparan. Polisi tidak diberikan informasi lanjutan pasal yang kemudian dituduhkan kepada terdakwa, dan berapa vonis yang dijatuhkan pengadilan. Dengan kata lain, ada sekat-sekat antara polisi/penyidik, jaksa, dan hakim dalam menangani kasus kehutanan.

Putusan MK
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011 juga dipandang ikut menambah rumit penegakan hukum kehutanan. Putusan mengenai UU No. 41 Tahun 1999 ini mengabulkan permohonan Bupati Gunung Mas dan Bupati Kapuas. Putusan ini berkaitan dengan penunjukan kawasan hutan.

Setelah putusan ini, aparat penegak hukum malah berbeda pendapat di lapangan. Ada hakim yang menolak dakwaan jaksa karena kawasan hutan sifatnya masih penunjukan. Padahal Mahkamah Konstitusi sudah menghapus frasa ‘ditunjuk dan atau’ dalam pasal 1 angka 3 UU Kehutanan. Karena itu, harus ada solusi ke depan jika ingin benar-benar menegakkan hukum kehutanan.

Kendala lain adalah sumber daya manusia tak sebanding dengan luasan kawasan hutan yang harus diawasi. Jumlah petugas relatif minim. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) kehutanan, misalnya, kata Sonny, ‘hanya’ 771 orang. Sebagian malah sudah pensiun. Dari jumlah itu pun, hanya 18 yang punya sertifikat sesuai amanat UU No. 18 Tahun 2013. Tahun ini, Kemenhut menargetkan 300 PPNS bersertifikat.
Tags: