MK Buka Peluang Keberatan Terhadap Putusan DKPP
Berita

MK Buka Peluang Keberatan Terhadap Putusan DKPP

Putusan DKPP harus dianggap sebagai putusan pejabat TUN.

ASH
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Majelis MK akhirnya mengabulkan sebagian uji materi Pasal 112 ayat (12) UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu terkait putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bersifat final dan mengikat. Dalam putusannya, MK memberi tafsir konstitusional dengan menyatakan putusan DKPP hanya mengikat ke dalam khusus bagi presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu.

“Menyatakan Pasal 112 ayat (12) UU Penyelenggara Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, ‘putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) bersifat final dan mengikat bagi presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Bawaslu’,” ucap Ketua MK, Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 31/PUU-XI/2013 di ruang sidang MK, Kamis (3/4).        

Uji materi ini diajukan oleh Ramdansyah yang memohon pengujian Pasal 100 ayat (4), Pasal 101 ayat (1), Pasal 112 ayat (9), Pasal 112 ayat (10), Pasal 112 ayat (12) dan Pasal 112 ayat (13) UU Penyelenggara Pemilu. Pasal-pasal itu memuat ketentuan pemberhentian anggota penyelenggara Pemilu oleh DKPP yang putusannya bersifat final. 

Ketentuan itu dinilai tidak menyediakan upaya hukum ketika anggota penyelenggara Pemilu diberhentikan. Karena itu, pemohon meminta MK untuk memberikan tafsir terhadap pasal-pasal itu. Dia berharap putusan DKPP tidak bersifat final dan bisa menyediakan upaya hukum lain atas putusan DKPP. Sebab, banyak lembaga kode etik di Indonesia itu keputusan lembaganya tidak bersifat final.

Sebelumnya, Ramdansyah dipecat sebagai Ketua Panwaslu DKI Jakarta berdasarkan surat keputusan DKPP Nomor 15/DKPP-PKE-I/2012 dan diperkuat dengan Keputusan Bawaslu Nomor 712/KEP Tahun 2012. Menurut pemohon fungsi DKPP sebagai organ pendukung KPU dan Bawaslu seharusnya tidak melebihi kewenangan dari induknya. Karena itu, fungsi DKPP melanggar UUD 1945 karena pemberhentian anggota induk DKPP secara konstitusional merugikan.  

Dalam pertimbanganya, Mahkamah menyatakan putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat itu menimbulkan ketidakpastian hukum, apakah final dan mengikat itu sama dengan final dan mengikatnya putusan lembaga peradilan?

Menurut Mahkamah putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat itu tidak dapat disamakan dengan putusan final dan mengikat lembaga peradilan pada umumnya. Sebab, DKPP bukanlah peradilan khusus yang masuk dalam satu lingkungan peradilan di bawah MA, melainkan perangkat internal penyelenggara Pemilu.

“Sifat final dan mengikat putusan DKPP haruslah dimaknai final dan mengikat bagi presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU abupaten/Kota, maupun Bawaslu. Adapun putusan presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu dapat menjadi objek gugatan di pengadilan TUN,” ujar Hakim Konstitusi Muhammad Alim saat membacakan pertimbangan putusan.

“Apakah nantinya PTUN akan memeriksa dan menilai kembali putusan DKPP yang menjadi dasar keputusan presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Bawaslu, hal itu kewenangan PTUN.”  

Mahkamah menegaskan putusan final dan mengikat itu hanya berlaku bagi presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu. Tindak lanjutnya, merupakan keputusan TUN yang melaksanakan urusan pemerintahan yang bersifat individual, konkrit, final. Karena itu, keputusan presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, atau Bawaslu itu dapat menjadi obyek gugatan di PTUN.           

Dijelaskan Mahkamah objek perkara yang ditangani DKPP terbatas hanya kode etik dan perilaku pribadi, atau orang perseorangan pejabat, atau petugas penyelenggara Pemilu. DKPP dapat memberi sanski teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap jika penyelenggara pemilu terbukti melanggar kode etik.   

“Itu dilakukan setelah DKPP melakukan penelitian dan/atau verifikasi terhadap pengaduan, mendengarkan pembelaan, dan keterangan saksi-saksi, serta memperhatikan bukti-bukti yang ada,” kata Alim.

Usai persidangan, Ramdansyah mengatakan putusan MK itu harus ditafsirkan bahwa putusan DKPP harus dianggap sebagai putusan pejabat TUN. “Kalau putusan pemecatan penyelenggaran pemilu oleh DKPP dijatuhkan dalam jangka waktu 90 hari bisa digugat ke PTUN. Kalau PTUN mengabulkan, bisa kembali menjadi penyelenggara pemilu,” kata Ramdansyah.

Dia mengeluhkan selama ini banyak anggota KPU atau Panwaslu diberhentikan oleh DKPP, tetapi mereka pasrah karena putusan DKPP bersifat final dan mengikat, tidak ada upaya keberatan atau banding. “Tetapi, MK menyatakan putusan final dan mengikat tidak bisa disamakan sebagai lembaga peradilan,” katanya.      
Tags:

Berita Terkait