Mundur Sebelum Putusan MKD, Setnov Lolos dari Sanksi Ini
Berita

Mundur Sebelum Putusan MKD, Setnov Lolos dari Sanksi Ini

Sanksi sedang mulai pemindahan keanggotaannya dari alat kelengkapan hingga pencopotan jabatan pimpinan DPR atau pimpinan alat kelengkapan. Serta sanksi berat dari pemberhentian sementara hingga pemberhentian tetap sebagai anggota DPR.

FAT/NNP
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Sesaat sebelum Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR memutuskan dugaan pelanggaran etik yang melibatkan Setya Novanto, politisi Partai Golkar itu mengajukan pengunduran dirinya sebagai Ketua DPR. Jika putusan MKD lebih cepat dari pengajuan pengunduran diri, maka ada sejumlah sanksi yang mengancam pria berusia 61 tahun itu.

Dalam sidang, secara satu persatu majelis MKD menyampaikan pendapatnya mengenai perkara yang melibatkan Novanto. Hasilnya, dari 17 majelis, 10 orang menilai bahwa Novanto bersalah melanggar etik dan dijatuhi sanksi sedang. Sedangkan sisanya, sebanyak tujuh orang menilai Novanto bersalah dan patut dijatuhi sanksi berat.

Berdasarkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik DPR, disebutkan secara gamblang bentuk sanksi sedang maupun sanksi berat. Dalam Pasal 21 huruf b disebutkan, sanksi sedang mulai dari pemindahan keanggotaan pada alat kelengkapan DPR hingga pencopotan atau pemberhentian dari jabatan pimpinan DPR atau alat kelengkapan DPR. Sedangkan sanksi berat mulai dari pemberhentian sementara paling singkat tiga bulan atau pemberhentian tetap sebagai anggota DPR.

Dalam Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara MKD DPR lebih diperjelas lagi. Pasal 66 ayat (1) Peraturan tentang Tata Beracara MKD DPR menyebutkan bahwa sanksi sedang berupa pemindahan keanggotaan dari alat kelengkapan DPR disampaikan oleh MKD kepada pimpinan DPR dan pimpinan fraksi anggota yang bersangkutan paling lama lima hari sejak tanggal ditetapkannya putusan. Sedangkan ayat (2)-nya menyebutkan bahwa pimpinan DPR menyampaikan putusan sebagaimana dimaksud kepada anggota yang bersangkutan paling lambat tujuh hari sejak tanggal diterimanya putusan dari MKD.

Untuk Pasal 67 ayat (1) peraturan yang sama disebutkan bahwa sanksi sedang berupa pemberhentian dari jabatan pimpinan DPR atau pimpinan alat kelengkapan DPR disampaikan oleh MKD kepada pimpinan DPR dan ditembuskan kepada pimpinan fraksi anggota yang bersangkutan paling lama lima hari sejak tanggal ditetapkannya putusan. Sedangkan ayat (2)-nya menyebutkan, pemberhentian itu dilaporkan dalam rapat pripurna DPR yang pertama sejak diterimanya putusan MKD oleh pimpinan DPR.

Sedangkan untuk menangani kasus pelanggaran kode etik yang bersifat berat yang berdampak kepada sanksi pemberhentian sebagai anggota DPR, MKD membentuk panel yang bersifat ad hoc. Panel tersebut terdiri dari tiga anggota MKD dan empat orang dari unsur masyarakat yang mewakili akademisi, tokoh masyarakat, tokoh agama dan atau praktisi hukum.

Dalam Pasal 58 Peraturan tentang Tata Beracara MKD DPR disebutkan bahwa pengambilan putusan dalam rapat MKD diambil dengan cara musyawarah mufakat. Jika cara musyawarah mufakat tak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.

Peneliti senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Bivitri Susanti menilai, seharusnya MKD tetap melanjutkan proses sidang etik Novanto meski ada surat pengunduran diri. “Seharusnya MKD jangan tutup kasusnya, tapi harusnya dikeluarkan saja keputusannya secara resmi. Toh, semua sudah tahu score-nya, semuanya nonton kok,” katanya kepada hukumonline, Kamis (17/12).

Apalagi, lanjut Bivitri, sanksi yang dijatuhkan kepada Novanto sama-sama tak lagi menjabat sebagai ketua DPR. Selain itu, putusan tersebut menghasilkan output seperti surat keputusan dari MKD. “Seperti surat keputusan MKD nomor sekian-sekian tentang kasus Setnov (Setya Novanto) atau apapun mereka sebut biasanya,” katanya.

Untuk diketahui, pengunduran diri Novanto dari jabatan ketua DPR menjadikan politisi Partai Golkar itu menjabat anggota DPR saja. Bivitri menilai, kasus dugaan pelanggaran etik Novanto kemungkinan akan ditolak MKD jika ada pihak yang kembali melaporkan walau Novanto berubah tak lagi menjabat ketua DPR. Saya kira kemungkinan besar mereka akan menolak. Karena peristiwa yang dipermasalahkan sama,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait