Negara Absen, Kelompok Intoleran Menjamur di Yogyakarta
Reformasi Hukum

Negara Absen, Kelompok Intoleran Menjamur di Yogyakarta

Reformasi Hukum dan HAM (Refhuk) adalah program yang mengetengahkan problematika hukum dengan narasumber kompeten. Hadir setiap Senin pukul 09.00-10.00 WIB. Program ini disiarkan oleh 156 radio jaringan KBR di seluruh Indonesia.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Foto: KBR
Foto: KBR
Beberapa waktu terakhir, Daerah Istimewa Yogyakarta menyita perhatian publik karena serangkaian kasus kekerasan yang dilakukan kelompok intoleran. Beberapa kasus terakhir antara lain penganiayaan terhadap Direktur Galang Press Julius Felicianus, perusakan gereja serta seruan perang melawan pluralisme dari sebuah masjid. Itu semua mengusik Yogyakarta yang selama ini dikesankan orang sebagai kota yang damai dan nyaman.

Direktur Pusat Kajian Islam dan Transformasi Sosial, LKiS Yogyakarta, Farid Wajidi dalam talkshow Program Reformasi Hukum dan HAM KBR berpendapat, kelompok intoleran telah menyalahgunakan ‘kebaikan’ Yogyakarta. Yogyakarta selama ini dikenal sebagai kota perdamaian, sebuah kota yang bisa menerima seluruh perbedaan yang ada. Kondisi ini sayangnya malah dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok intoleran untuk mengembangkan kegiatannya di kota Gudeg ini.

“Kelompok Intoleran justru hasil dari pluralisme itu sendiri. Kelompok ini tidak mengenal tempat dan wilayah tertentu,” ujarnya.

Menurut Farid, kini di Yogyakarta ada banyak kelompok berhaluan keras, di antaranya FPI, MMI, FGI, dan GAM (Gerakan Anti Maksiat). “Meski tiap kelompok tidak begitu besar dan banyak anggotanya, tetapi untuk isu-isu tertentu mereka bersatu. Bahkan terkadang orangnya sama, hanya berganti-ganti nama organisasinya saja,” ujarnya.

Dia yakin sebagian besar warga Yogyakarta mengecam aksi-aksi kekerasan yang ada. Tapi, “Acuhnya sikap masyarakat juga sudah sangat mengkhawatirkan,” ujarnya. Kemudian, tidak adanya kepastian keamanan dari pemerintah membuat warga enggan bertindak terhadap ulah kelompok intoleran tersebut.

Farid berpendapat kepolisian sebenarnya tahu tentang masalah ini. Misalnya, intelijen kepolisian sudah mengetahui sebelum aksi penyerangan terjadi. “Padahal negara menjamin itu. Semestinya polisi menindak yang mengancam dan bukan membubarkan acara yang dijamin negara soal haknya,” ujarnya.

Sayangnya, negara absen terhadap kasus seperti ini karena aparat keamanan lebih mengkhawatirkan ancaman dari kelompok tertentu ketimbang memenuhi hak beragama warganya. “Polisi seperti mandul ketika berhadapan dengan satu kelompok tertentu. Seharusnya polisi fokus pada pelanggaran HAM-nya,” ujarnya.

Hal itu diperburuk lagi dengan tidak ada satupun kasus kekerasan intoleran yang dapat diselesaikan oleh kepolisian, di Yogyakarta khususnya dan Indonesia umumnya. “Beri kami satu contoh kasus yang sudah selesai penanganan proses hukumnya coba, tidak ada kan,” ujarnya.

Menanggapi pernyataan tersebut, Juru Bicara Kepolisian Daerah Yogyakarta, Any Pudjiastuti membantah. Kata dia, sangkaan tersebut sangat tidak berasalan.

“Landasan kami adalah hukum, jadi siapa yang berbuat apa, maka itu yang kami tindak. Jadi tidak ada pembiaran siapapun,” ujarnya.

Dia menambahkan, untuk penyelesaian kasus penyerangan rumah Direktur Galang Press Julius Felicianus, polisi sudah menahan seorang tersangka, meminta keterangan 16 orang saksi dan menyita beberapa alat bukti seperti senjata tajam.

“Kita tinggal memfokuskan pada pengejaran dua orang yang diduga terlibat pada kasus itu. Identitas lengkap sudah kami pegang,” ujarnya.

Untuk kasus penyerangan di Tridadi, Sleman, kata dia, pihaknya pun sudah menahan tersangka dan memeriksa beberapa orang saksi. “Untuk penggunaan rumah sebagai tempat ibadah di Sleman, rumah tersebut sudah disegel, namun tetap digunakan. Jadi penyerang dan pemilik rumah sama-sama kami jadikan tersangka, untuk kasus yang di Sleman,” ujarnya.

Karena hal-hal tersebut, polisi menolak dituduh enggan menyelesaikan kasus-kasus kekerasan tersebut. Polisi mengaku proses penuntasan kasus terhambat di kejaksaan. ”Bukti yang kami anggap sudah cukup, tetapi tidak bagi kejaksaan. Jadi berkas selalu dikembalikan,” ujarnya.

Dia menambahkan, pihaknya juga selalu mengedepankan penegakan hukum. Jadi tidak bisa menggunakan banyak asumsi. Oleh karenanya, untuk menghindari kejadian serupa, kepolisian kini lebih memfokuskan pada pencegahan.

“Kami bukan melarang, tetapi lebih untuk mengantisipasi agar kondisi lebih aman. Bukan malah melarang beragama,” ujarnya.

Dia juga mengakui dalam proses penuntasan kasus hukum sering terbentur pada ketiadaan aturan yang diperlukan. “Kami hanya menjalankan aturan yang ada. Jika aturan yang ada kurang mengakomodir, maka kewenangan pemerintah dan DPR untuk benahi,” ujarnya.

Meski demikian kata dia, pihaknya akan selalu berupaya maksimal menjaga keamanan warga Yogyakarta, khususnya dari tindak kejahatan apapun. Dia memastikan, organisasi penebar kebencian dan intoleran tidak akan bisa bergerak bebas di Yogyakarta.

Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Reformasi Hukum dan HAM KBR. Simak siarannya setiap Senin, pukul 09.00-10.00 WIB di 89,2 FM Green Radio.

Sumber: www.portalkbr.com
Tags:

Berita Terkait