Ordonansi Perdagangan Warisan Belanda Dicabut
Berita

Ordonansi Perdagangan Warisan Belanda Dicabut

Anggota DPR mengklaim UU Perdagangan berwarna ‘merah putih’.

FNH
Bacaan 2 Menit
Sidang paripurna DPR, Jakarta (11/02). Foto: RES
Sidang paripurna DPR, Jakarta (11/02). Foto: RES
DPR dan pemerintah akhirnya menyetujui RUU Perdagangan disahkan menjadi Undang-Undang. Persetujuan DPR diputuskan dalam Rapat Paripurna Dewan yang berlangsung di Senayan, Selasa (11/2). Keberlakuan UU Perdagangan kini tinggal menunggu pengundangan di Lembaran Negara.

Pengesahan RUU Perdagangan merupakan pencapaian penting karena berarti satu lagi produk hukum nasional dihasilkan. Maklum ketentuan mengenai perdagangan selama ini tersebar dalam beragam peraturan, bahkan ada yang masih warisan Belanda.

Wakil Ketua Komisi VI DPR, Erik Satrya Wardhana, menegaskan semua peraturan perundang-undangan bidang perdagangan harus menyesuaikan dengan UU Perdagangan baru. “Semua harus tunduk pada UU Perdagangan dan otomatis aturan Belanda tahun 1934 itu tidak berlaku,” tegasnya.

Aturan warisan Belanda yang dimaksud Erik adalah Bedrijfsreglementterings Ordonantie 1934, Staatsblad 1938 No. 86. Ordonansi ini, sesuai ketentuan Pasal 117 RUU Perdagangan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ordonansi ini mengatur antara lain lisensi dan perizinan. “Ordonansi 1934 tutup, dan ini yang berlaku,” Ketua Panja RUU Perdagangan, Aria Bima.

Selain Ordonansi Perdagangan 1934, RUU Perdagangan mencabut dan menyatakan tidak berlaku tiga peraturan warisan Orde Lama. Ketiga peraturan tersebut adalah UU No. 10 Tahun 1961 (tentang barang), UU No. 8 Prp Tahun 1962 (perdagangan barang dalam pengawasan), dan UU No. 11 Tahun 1965 (perdagangan).

Kepentingan nasional
RUU Perdagangan yang baru disetujui DPR untuk disahkan tak hanya mencabut aturan warisan Belanda. Menurut Erik, RUU ini juga benar-benar mengakomodasi kepentingan nasional. Materinya sudah mengatur perdagangan dari hulu sampai hilir. Bahkan ia menyebut nasionalisme RUU ini sangat merah putih. “UU Perdagangan merupakan UU yang warnanya merah putih. Sarat dengan perlindungan dan proteksi nasional,” jelas politisi Partai Hanura ini.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Amir Syamsudin memberikan apresiasi kepada DPR atas persetujuan RUU Perdagangan untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Apresiasi tersebut diberikan juga karena UU Perdagangan lebih mengutamakan kepentingan Indonesia. “UU Perdagangan mengutamakan kepentingan Indonesia,” ungkap Amir.

Amir juga menekankan pengesahan RUU Perdagangan menjadi UU Perdagangan pada akhirnya akan mencabut aturan BO 1934 dan aturan parsial lainnya dengan merujuk pada UU Perdagangan. “UU Perdagangan akan mencabut aturan BO 1934,” jelasnya.

Namun persetjuan DPR tak secara bulat. PKB termasuk yang memberi catatan. Anggota Komisi VI DPR Lukman Edy menegaskan penolakan Fraksi PKB atas isi Pasal 87 UU Perdagangan karena menganggap pasal ini memberikan wewenang kepada pemerintah untuk membuat preferensi perdagangan secara unilateral kepada negara kurang berkembang dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional. Kandungan pasal tersebut dianggap bermata dua dan sangat menggangu. Pemberian referensi kepada negara kurang berkembang menegasikan muatan-muatan merah putih. Perlindungan, safeguard, pasal-pasal untuk kepentingan nasional bisa hilang dengan keberadaan pasal tersebut.

“Secara keseluruhan menyetujui, tapi pasal 87 ini mengingatkan. Mungkin dianggap tidak tepat. Tapi nanti akan terbukti suatu saat ketika kita ingin memperoleh perlindungan-perlindungan,” pungkas Lukman Edy.
Tags:

Berita Terkait