Panitia Seleksi 'Kesulitan' Mencari Hakim Adhoc Tipikor
Berita

Panitia Seleksi 'Kesulitan' Mencari Hakim Adhoc Tipikor

Seleksi hakim adhoc tipikor minim peminat. Pansel bahkan sampai memperpanjang masa pendaftaran.

Ali/Mys
Bacaan 2 Menit

 

Selain itu, Pasal 12 UU Pengadilan Tipikor mensyaratkan calon hakim adhoc harus berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain dan berpengalaman di bidang hukum sekurang-kurangnya selama 15 tahun untuk pengadilan Tipikor tingkat pertama dan banding. Sedangkan untuk hakim adhoc di tingkat MA harus berpengalaman sekurang-kurangnya 20 tahun.

 

Calon hakim adhoc juga harus membuktikan dirinya tidak pernah dipidana oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Para calon juga harus bersedia mengikuti pelatihan sebagai hakim tipikor. Terakhir, para calon juga tidak sedang menjabat sebagai pengurus dan anggota partai politik.

 

Kompensasi

Peneliti Lembaga untuk Independensi Peradilan (LeIP) Arsil mengaku sudah memprediksi seleksi hakim adhoc tipikor ini akan sepi peminat. Selain persyaratannya yang berat, dibentuknya pengadilan adhoc di setiap provinsi juga menjadi faktornya. “Semakin banyak pengadilan tipikor yang dibentuk, semakin banyak hakim adhoc yang dibutuhkan,” ujarnya.

 

Arsil menduga salah satu faktor yang menyebabkan minimnya peminat adalah masalah kesejahteraan. Menurutnya, pansel juga harus mengumumkan berapa gaji yang akan diterima oleh para hakim adhoc itu. Ia menilai bila standar gaji yang digunakan sekarang adalah sekitar 8 sampai 12 juta. “Kalau ada kenaikan sebaiknya diumumkan agar masyarakat juga mengetahui,” ujarnya. Atau malah, lanjut Arsil, yang digunakan adalah standar gaji hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sebesar 3 sampai 4 juta.

 

Menurut Arsil, saat ini pun para hakim adhoc tipikor kerap mengeluh seputar gaji. “Walaupun menjadi hakim itu bukan pekerjaan biasa, tetapi kan harus manusiawi juga,” tuturnya. Apalagi, lanjutnya, Pasal 12 huruf k menyatakan hakim adhoc harus bersedia melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lain selama menjadi hakim adhoc tipikor.

 

Bambang menyadari pasal itu berpotensi mengganjal calon yang berkualitas. Misalnya ada dosen yang cukup potensial, apakah harus mengundurkan diri sebagai pengajar atau tidak. “Kami akan kaji apakah dosen masih bisa mengajar bila mereka menjadi hakim adhoc,” pungkasnya.

 

Sementara itu, masalah hakim adhoc ini ternyata juga menarik perhatian sejumlah lembaga swadaya masyarakat pemerhati pengadilan tipikor. Para pemangku kepentingan itu akan menggelar pertemuan membahas kelemahan UU Pengadilan Tipikor. Termasuk, kesulitan mencari hakim ad hoc yang berkualitas.

 

Tags:

Berita Terkait