PDIP Minta MK Batalkan UU MD3 Revisi
Berita

PDIP Minta MK Batalkan UU MD3 Revisi

PDIP juga minta MK menunda berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan pengujian itu.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Rencana PDIP menguji pengesahan revisi UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) ternyata bukan gertak sambal. Melalui kuasa hukumnya, Andi M Asrun, PDIP resmi mendaftarkan uji materi revisi UU MD3 yang belum bernomor itu ke MK. Dalam petitum permohonannya, PDIP meminta MK membatalkan UU MD3 itu karena cacat formil atau sejumlah pasal-pasal yang dinilai bermasalah.

“Kami minta membatalkan semuanya karena UU itu cacat formil, prosesnya tidak sesuai mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan dan tata dengan tata tertib DPR,” kata Andi M Asrun usai mendaftarkan uji materi UU MD3 Revisi di Gedung MK, Kamis (24/7).

Dia mengungkapkan Pasal 84, Pasal 88, Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121, Pasal 152 awalnya tidak ada dalam naskah akademik hingga draft revisi UU MD3 diserahkan ke pemerintah. “Tetapi, ketika menjelang paripurna, sehari sebelum Pilpres pasal-pasal itu tiba-tiba masuk. Makanya, kita juga uji materi pasal-pasal itu,” kata Asrun.    

Asrun menilai sisi substansi UU MD3 Revisi bertentangan atau mengkhianati konstitusi. Soalnya, amanat konstitusi sendiri kedudukan MPR, DPR, dan DPD harus dibuat undang-undangnya secara terpisah. Saat rapat dengar pendapat dengan Pansus Revisi UU MD3, MPR pernah mengajukan rancangan UU MPR, tetapi diabaikan. DPD juga tidak didengar,” ungkapnya.

Keberadaan pasal-pasal yang bermasalah ini, kata Asrun, akan menimbulkan manuver politik. Misalnya aturan mekanisme pemilihan pimpinan komisi, pimpinan badan legislasi, pimpinan Badan Anggaran yang  sifatnya ad hoc, tiba-tiba diperrmanenkan. Lalu, mekanisme pemiihan Mahkamah Kehormatan Dewan, pimpinan Badan Urusan Rumah Tangga, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara justru dihilangkan; adanya hak imunitas anggota DPR saat menjalani proses hukum.

Pasal krusial
Bagi PDIP, hal yang krusial adalah Pasal 84 UU MD3 Revisi terkait mekanisme pemilihan pimpinan DPR yang dilakukan oleh anggota DPR yang tidak pernah muncul dalam pembahasan sebelumnya. Padahal, konvensi (ketatanegaraan) sudah menentukan setiap pemenang Pemilu berhak menjabat ketua DPR atau parlemen. Hal ini diperkuat dengan Pasal 82 UU MD3.       

“Sudah berlaku dari tahun ke tahun sejak reformasi ada kesepakatan diantara meraka untuk itu, tiba-tiba disimpangi, penyimpangan itu.Ini sudah tradisi dan terjadi dimana-dimana,” jelasnya. “Orang-orang yang kapabilitas yang punya uang akan bisa membeli suara.”  

Terlebih, sudah ada Putusan MK No. 21/PUU-IX/2011 menyangkut pengujian Pasal 354 UU MD3 yang dinyatakan secara jelas dan tegas bahwa anggota DPRD dari parpol mana saja yang memperoleh kursi terbanyak di DPRD kabupaten/kota berhak menduduki jabatan pimpinan DPRD. Ketentuan itu dinilai tidak bertentangan dengan konstitusi. Bahkan, sejalan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.    

“Putusan MK menentukan pemenang pemilu di tingkat lokal menduduki ketua DPRD. Kalau ini tidak di otak-atik, mereka (hakim MK) tidak akan mengubah putusannya sendiri,” katanya.

Pemohon juga meminta putusan sela agar menunda berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan pengujian itu. “Kita minta sidang dipercepat, kita berharap pengujian UU ini menjadi prioritas MK. Masih ada waktu untuk membatalkan UU ini,” harapnya.

Ketua Bidang Hukum DPP PDIP Trimedya Pandjaitan menegaskan pasal-pasal itu tidak dibuat dari awal. Sebab, setelah pengumuman hasil Pemilu Legislatif 2014 diumumkan siapa pemenangnya (PDIP), baru dimasukkan pasal itu. “Masuknya pasal itu di tengah jalan. Pemerintah sendiri awalnya kaget, tetapi setelah mereka melakukan komunikasi akhirnya pemerintah setuju,” kata Trimedya.  

Sebelumnya, langkah hukum serupa bakal ditempuh DPD, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan  Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika). Misalnya, DPD mempersoalkan Pasal 72 UU MD3 Revisi yang dinilai bertentangan dengan Putusan MK No. 92/PUU-X/2012 yang mengamanatkan pelibatan DPD dalam pembahasan setiap UU. Pasal 72 huruf c UU itu juga belum mengakomodasi mekanisme yang jelas jika ada RUU yang diajukan DPD.   

Lain hal dengan ICJR yang mempersoalkan Pasal 245 UU MD3 Revisi yang terkesan mengistimewakan DPR dengan memberi perlindungan terhadap anggota DPR ketika menghadapi proses hukum. Pasalnya, setiap pemeriksaan dalam proses penyidikan anggota DPR harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Ketentuan ini mirip dengan Pasal 36 UU Pemda yang sudah dibatalkan MK terkait izin pemeriksaan kepala daerah tidak lagi memerlukan izin presiden.       

Sementara ketentuan krusial yang dipersoalkan Yappika menyangkut pemilihan Ketua DPR melalui mekanisme voting (seluruh anggota DPR), bukan lagi dijabat kader partai pemenang Pemilu. Ketentuan lain memberi hak imunitas DPR jika terlibat masalah hukum. Pasalnya, penegak hukum harus minta izin Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) jika ingin melakukan pemeriksaan terhadap anggota DPR.
Tags:

Berita Terkait