Pembentuk UU Diminta Kaji Ulang Living Law dalam RKUHP
Berita

Pembentuk UU Diminta Kaji Ulang Living Law dalam RKUHP

Dikhawatirkan penentuan perbuatan masuk atau tidaknya hukum yang hidup di masyarakat berada di tangan aparat penegak hukum (subjektif) yang berakibat terjadinya tindakan sewenang-wenang. Karena itu, pembentuk UU juga diminta untuk menerangkan konsep living law dalam RKUHP.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Terlebih, dalam RKUHP sudah banyak muncul tindak pidana baru yang disesuaikan dengan praktik peradilan dan dinamika sosial di tengah masyarakat. Baginya, perbedaan karakter mendasar antara hukum pidana dengan hukum adat, terletak pada asas legalitasnya. Bila  hukum pidana mengharuskan ketentuan aturan tertulis (legalitas), sedangkan living law tidak tertuilis.

 

“Hukum adat tidak melihat apakah suatu perbuatan tersebut diakibatkan faktor kesengajaan atau kelalaian, melainkan melihat pada akibat yang ditimbulkan,” ujarnya.

 

Kedua, cakupan living law terlampau luas dan tanpa definisi dan pembatasan yang jelas. Ia khawatir penerapan living law bakal menimbulkan banyak penafsiran atau multitafsir dalam penerapan hukumnya. Ketiga, aturan tersebut menyimpangi unifikasi hukum yang diharapkan dalam kodifikasi RKUHP. Di tengah heterogennya masyarakat Indonesia, penerapan living law berpotensi ruwet-nya sistem hukum negara.

 

Padahal, dengan RKUHP diharapkan adanya proses dan pemeriksaan yang seragam, bukan sebaliknya bertentangan unifikasi hukum. Keempat, penerapan living law bukan tidak mungkin menyebabkan overkriminalisasi terhadap perbuatan yang sebenarnya tidak diatur serta dilarang dalam peraturan perundangan yang berlaku.

 

Ini akan menjadi batu sandungan terhadap asas legalitas yang diatur Pasal 1 ayat (1) RKUHP yang menghomati perlindungan, penghormatan, dan penegakan hak asasi manusia, dimana terdapat batasan terhadap penghukuman pada seseorang. Sebab, pemberian hukuman yang berlebihan dan tidak disertai dasar yang jelas adalah pelanggaran hak asasi manusia,” dalihnya.

 

Kelima, dalam Pasal 1 ayat (2) RKUHP menetapkan adanya larangan mempidanakan seseorang atas dasar analogi. Menurut Eras, penggunaan analogi dalam hukum pidana bertujuan mendukung kepastian hukum. Karena itu, larangan analogi itu justru bertentangan dengan gagasan masuknya living law dalam RKUHP. Sebab, menurutnya sejatinya hukum adat merupakan analogi yang bersifat gesetz karena analogi terhadap perbuatan yang sama sekali tidak terdapat (dilarang) dalam hukum pidana. Dengan begitu, telah terjadi pertentangan antara kedua hal tersebut.

 

"Atas dasar poin-poin tersebut, Aliansi Nasional Reformasi KUHP mendorong DPR dan Pemerintah untuk mengkaji ulang dan lebih mendalam terkait masuknya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai pengecualian asas legalitas dalam RKUHP," tegasnya.

 

Anggota Panja RKUHP Saiful Bahry Ruray enggan berkomentar banyak. Sebab, Panja RKUHP sedang melakukan pembahasan draf RKUHP di hotel Le Meridien. Perihal pasal apa saja yang dibahas, Saiful pun enggan berkomentar. “Iya masih dibahas draf RKUHP di situ,” ujar anggota Komisi III dari Fraksi Golkar itu.

Tags:

Berita Terkait