Pembentukan Dewan Pengawas Densus 88, Ini Jawaban Calon Kapolri
Berita

Pembentukan Dewan Pengawas Densus 88, Ini Jawaban Calon Kapolri

Karena akan membebankan anggaran negara disaat pemerintah mengurangi lembaga yang ada.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Calon Kapolri Komjen Pol Tito Karnavian menjalani fit and proper test di Komisi III DPR, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (23/6). Foto: RES
Calon Kapolri Komjen Pol Tito Karnavian menjalani fit and proper test di Komisi III DPR, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (23/6). Foto: RES
Sejumlah isu dilontarkan anggota Komisi III DPR ke calon Kapolri Komisaris Jenderal (Komjen) Muhammad Tito Karnavian dalam uji kelayakan dan kepatutan, Kamis (23/6). Isu itu antara lain sorotan terhadap penanganan tindak pidana teroris. Tito yang sempat menjabat Kepala Densus 88 dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) dicecar pertanyaan seputar teroris hingga pembentukan dewan pengawas terhadap Densus 88.

Anggota Komisi III Muhammad Syafii mengatakan, ada masyarakat yang beranggapan penanganan tindak pidana teroris seolah pembantaian terhadap kelompok islam secara sistemik. Apalagi, sejumlah narasumber dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menunjukkan sebaran kelompok yang mengedepankan kalimat dibantai. Menurutnya, tindakan tersebut berbahaya bila tidak diklarifikasi ke publik.

“Benarkah menurut pemahaman Densus Polri bahwa teroris identik dengan islam dan berkembang islam identik dengan teroris. Kalau ini menjadi tagline, maka Densus ini membahayakan,” ujarnya.

Sejak berlakunya UU No.15 Tahun 2003, setidaknya banyak korban tewas tanpa melalui proses hukum di pengadilan. Ya, mati ditembak. Pola pendekatan represif itulah menjadi cibiran masyarakat. Densus kerap melakukan aksi kekerasan saat melakukan penangkapan terhadap orang yang diduga teroris. Padahal banyak pula koran salah tangkap. Setidaknya, berdasarkan laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM) terdapat 121 korban meninggal tanpa proses hukum.

Syafii yang juga ketua Pansus RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme itu mengatakan, dalam pembahasan banyak usulan dibentuknya dewan pengawas terhadap Densus dalam melakukan kerja pemberantasan teroris.  Langkah itu diperlukan untuk mengevaluasi dan meminimalisir terjadinya kekerasan dalam penangkapan orang yang diduga teroris, meski kewenangan penegak hukum diperluas. Mekanisme pengawasan dapat pula berupa audit kinerja dan keuangan terhadap Densus.

“Hampir semua menginginkan pengawasan terhadap operasi Densus,” ujar politisi Partai Gerindra itu.

Anggota Komisi III Arsul Sani menambahkan, pendekatan yang kini diterapkan Densus menggunakan pendekatan militer. Akibatnya, tindakan represif yang acapkali dikedepankan Densus 88. Menurutnya, semasa Kapolri dijabat Jenderal Da’i Bachtiar belum ada perundangan khusus terorisme, namun nyaris berhasil dengan mengedepankan pendekatan criminal justice system. Akibatnya, pelaku teroris kerap ditangkap dalam keadaan hidup. Berbeda halnya setelah adanya UU No.15 Tahun 2003, justru penangkapan kerap berujung pelaku tewas ditembak Densus.

“Dengan perluasan kewenangan, kira-kira perlindungan HAM seperti apa yang sepatutnya diberikan kepada masyarakat, termasuk tim pengawas khusus yang mengawasi kerja-kerja Densus,” ujar anggota Pansus RUU Pemberantasan Tindak Pidana Teroris dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) itu.

Menanggapi cecaran dua anggota dewan itu, Komjen Tito angkat bicara. Dikatakan Tito, meningkatnya korban tewas dalam kasus teroris sejak keberadaan UU No.15 Tahun 2003 dibandingkan sebelumnya disebabkan perbedaan target. Bila kasus Bom Bali I dan II targetnya adalah tempat publik, maka di era 2003 ke atas karena ideologi tahun 2000 misalnya, sudah menerapkan law enforcement strategi dan mengedepankan due process of law.

“Kenapa ada 121 ditembak sebelum adanya proses hukum, permasalahannya karena situasi taktis di lapangan. Ketika mau ditangkap, mereka membahayakan petugas dan masyarakat umum,” ujarnya.

Mantan Kapolda Papua itu mengatakan, publik mestinya tak hanya merujuk pada angka 121 korban meninggal tanpa proses peradilan. Pasalnya, Densus setidaknya sudah berhasil membekuk pelaku sekitar 900-an orang dalam kasus teroris dalam keadaan hidup. “Tapi juga lihat berapa banyak polisi yang mati,” ujarnya.

Tito berkeberatan bila dibentuk lembaga dengan menamanakan dewan pengawas terhadap Densus 88. Alasannya, selain akan membebankan anggaran negara, penambahan lembaga baru justru bakal menambah tidak fokus pengawasan. Pasalnya, selama ini telah terdapat lembaga pengawas seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum), hingga Komisi III DPR yang melakukan fungsi pengawasan terhadap Polri.

“Kami keberatan dibentuk dewan pengawas Densus. Kita menghemat anggaran dan disaat mengurangi instansi yang ada. Euforia menambah lembaga akan menambah anggaran pemerintah,” ujarnya.

Meski demikian, Tito sependepat pengawasan ketat terhadap Densus mesti dilakukan. Untuk itu, mekanisme pengawasan terhadap Densus mesti diperkuat. Lebih lanjut, ia berjanji bila terjadi pelanggaran terhadap penanganan teroris, maka masyarakat dapat mengadu ke pengawas eksternal maupun internal Polri.

“Kalau ada yang janggal saya perintahkan memeriksa. Polri saat ini sudah terbuka, biarkan Propam memeriksa. Kemudian ada kerjasama dengan instansi dan memberikan briefing terhadap petugas. Saya sudah minta KomnasHAM melakukan briefing soal HAM kepada Densus di daerah dan pusat,” pungkas jenderal polisi bintang tiga itu.

Tags:

Berita Terkait