Pembentukan KI Provinsi Sarat Problematika
Berita

Pembentukan KI Provinsi Sarat Problematika

Daerah harus menyiapkan anggaran dan sekretariat. Komisi Informasi Pusat tak bisa menekan pemerintah daerah.

M-10
Bacaan 2 Menit
Komisi Informasi Pusat tak bisa berbuat banyak untuk menekan<br> daerah karena sifatnya kordinatif. Foto: Sgp
Komisi Informasi Pusat tak bisa berbuat banyak untuk menekan<br> daerah karena sifatnya kordinatif. Foto: Sgp

Sesuai amanat Undang-Undang No. 14 Tahun 2008, Komisi Informasi provinsi sudah harus terbentuk paling lambat dua tahun setelah Undang-Undang ini berlaku. Itu berarti paling lambat 30 April 2012 mendatang, ke-33 provinsi seharusnya sudah memiliki Komisi Informasi. Pembentukan Komisi Informasi untuk kabupaten/kota hanya disesuaikan dengan kebutuhan.

 

Namun setahun lebih berjalan, baru delapan provinsi yang memiliki Komisi Informasi. Dengan kata lain, 76 % Komisi Informasi provinsi belum terbentuk setahun setelah Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) berlaku. Daerah yang sudah membentuk Komisi Informasi provinsi adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Gorontalo, Kepulauan Riau, Lampung, Sulawesi Selatan, dan terakhir Jawa Barat.

 

ICW memandang rendahnya kepatuhan daerah terhadap UU KIP bukan saja menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum, tetapi juga mengancam perlindungan hak publik atas informasi. “Mengingat sekitar 76 % lembaga penyelesaian sengketa informasi di daerah belum terbentuk,” papar peneliti ICW, Agus Sunaryanto.

 

Keprihatinan ICW ternyata bukan hanya pada rendahnya kepatuhan membentuk Komisi Informasi provinsi. Daerah yang sudah membentuk dan daerah yang sedang memproses pembentukan seperti Bali, Yogyakarta dan Nanggroe Aceh Darussalam juga masih terbelit sejumlah masalah. Komisi Informasi dibentuk tanpa persiapan perencanaan anggaran. Akibatnya biaya operasional, tunjangan pegawai, dan biaya sekretariat terkatung-katung. Kantor operasional Komisi Informasi daerah umumnya masih menumpang di kantor dinas perhubungan atau dinas komunikasi dan informatika. Komisi Provinsi Informasi Gorontalo, misalnya, menghadapi problem tunjangan sehingga salah seorang komisionernya mengundurkan diri.

 

Komisioner Komisi Informasi Pusat, Dono Prasetyo, membenarkan temuan ICW. Berdasarkan pantauan Dono, kendala pembentukan ada pada pagu APBD. Daerah umumnya berasalan biaya operasional dan kesekretariatan belum dimasukkan dalam APBD tahun berjalan. Kalaupun kemudian dialokasikan, itu masih menunggu pembahasan APBD Perubahan.

 

Selain pendanaan, Dono melihat faktor lain berupa minimnya dorongan dari masyarakat sipil. Masyarakat lokal kurang mendorong dan melakukan advokasi pembentukan Komisi Informasi provinsi. Seolah-olah bahwa masyarakat setempat belum membutuhkan kehadiran Komisi Informasi.

 

Di mata Dono, desakan dari masyarakat menjadi penting karena pada praktiknya pemerintah daerah sulit diharapkan mengambil prakarsa pembentukan Komisi. “Kalau memang masyarakat ada kebutuhan, ada permintaan informasi, mau tidak mau pemerintah di provinsi itu akan membentuk Komisi Informasi provinsi,” ujarnya kepada hukumonline.

Tags: