Pemerintah Minta Sri Sultan dan Paku Alam Yogyakarta Beri Penjelasan
Berita

Pemerintah Minta Sri Sultan dan Paku Alam Yogyakarta Beri Penjelasan

Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada MK untuk memberikan putusan seadil-adilnya sesuai konstitusi.

ASH
Bacaan 2 Menit
Salah satu buku yang melihat Yogyakarta dari kacamata hukum. Foto: HOL/SGP
Salah satu buku yang melihat Yogyakarta dari kacamata hukum. Foto: HOL/SGP
Pemerintah meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menghadirkan Sultan Hamengkubuwono X dan Adipati Paku Alam untuk memberi keterangan sebagai Pihak Terkait dalam sidang pengujian Pasal 18 ayat (1) huruf m UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sebab, keduanya lebih memahami tradisi tahta pada Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman yang bersifat turun-menurun.

“Kita memohon kepada Majelis MK agar menghadirkan Sultan Hamengkubuwono dan Adipati Paku Alam sebagai Pihak Terkait untuk didengar keterangannya, mengingat pemerintahan di Yogyakarta bersifat istimewa,“ ujar Kepala Biro Hukum Kemendagri, Widodo Sigit Pudjianto saat mewakili pandangan Pemerintah di sidang pengujian UU Keistimewaan DIY yang diajukan 11 Warga Yogyakarta di Gedung MK, Selasa (8/1). (Baca juga: Gugatan Keistimewaan Surakarta Kandas di MK).

Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Keistimewaan DIY menyebutkan “Calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat : …. m. menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.”

Sebelumnya, 11 warga Yogyakarta yang terdiri dari aktivis perempuan, pengusaha kecil/menengah, dan Abdidalem Keraton Ngayogyakarta mempersoalkan Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Keistimewaan DIY. Intinya, mereka menilai aturan ini bersifat diskriminasi terhadap kaum perempuan. Sebab, adanya kata “istri” ketika menyerahkan daftar riwayat hidup menimbulkan penafsiran seolah-olah harus laki-laki yang bisa menjadi calon gubernur dan wakil gubernur DIY. Hal ini menimbulkan tidak adanya kepastian hukum yang adil. (Baca juga: Keistimewaan Suatu Daerah Harus Keinginan Masyarakat).

Bagi Pemohon, larangan diskriminasi terhadap wanita atau perempuan telah ditegaskan dalam UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Perempuan. Posisi negara seharusnya netral dan tidak terlalu jauh mencampuri proses internal Keraton tanpa menghilangkan keistimewaannya. Para Pemohon meminta Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Keistimewaan DIY khususnya terhadap frasa “yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Sigit menegaskan negara pada hakikatnya tidak boleh sama sekali mencampuri tradisi Kasultanan yang telah berlangsung turun temurun. Jika terjadi perubahan tradisi Keraton yang menyebabkan perlu adanya perubahan UU, maka hal tersebut perlu dimusyawarahkan untuk mencapai mufakat yang keadilan. (Baca artikel resensi: Keistimewaan Yogyakarta dari Kacamata Hukum).

Menurutnya pengaturan keistimewaan Yogyakarta pada dasarnya telah mengikuti tradisi dan adat-istiadat serta nilai-nilai yang dianut masyarakat Yogyakarta. Baginya, persoalan ini hanya menyangkut pengisian kolom-kolom daftar riwayat hidup sesuai kondisi riwayat hidup calon gubernur DIY sebagai panduan hal-hal yang perlu dimuat.

“Ketentuan ini sebenarnya calon lebih leluasa untuk menentukan dan menambah keterangan sesuai yang dibutuhkan. Ini bukanlah bentuk diskriminasi terhadap perempuan,” katanya.

Dia menjelaskan Pasal 18 ayat (1) UU Keistimewaan DIY sebagai satu kesatuan pemenuhan syarat calon gubernur dan wakil gubernur DIY yang sekaligus mengemban tahta Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Sultan Hamengkubuwono) dan Kadipaten Pakualaman (Adipati Paku Alam). Hal ini telah disebutkan dalam Pasal 1 angka 4 dan angka 5 UU Keistimewaan DIY. Meski begitu, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada MK untuk memberikan keputusan dengan seadil-adilnya sesuai konstitusi.

Ketua Majelis MK Arief Hidayat berjanji akan mengundang Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Sri Paku Alam X Yogyakarta untuk memberi keterangan dalam persidangan selanjutnya. “Kita akan undang keduanya sebagai Pihak Terkait. Jadi, keinginan Pemerintah kita akomodir ya. Nanti persidangan berikut kita dengar keterangan DPR dan beberapa ahli dari Pemohon,” kata Arief sebelum menutup persidangan.
Tags:

Berita Terkait