Penafsiran Daluwarsa Delik Pemalsuan Surat: Sebelum dan Setelah Putusan MK
Kolom

Penafsiran Daluwarsa Delik Pemalsuan Surat: Sebelum dan Setelah Putusan MK

Adanya putusan ini, bisa dikatakan mendasarkan pada perlindungan hukum pada korban, sebagaimana pertimbangan hukum Putusan MK No. 118/PUU-XX/2022.

Bacaan 7 Menit

Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan, yaitu apakah berarti melalui Putusan MK No. 118/PUU-XX/2022 tersebut juga mengubah klasifikasi delik pemalsuan surat menjadi delik materiil, karena adanya penambahan frasa “sejak menimbulkan kerugian” pada perhitungan daluwarsanya atau frasa “menimbulkan kerugian” pada daluwarsa delik pemalsuan surat tersebut tidak harus ada, ketika memang dalam laporan pidananya tidak ada kerugian yang dapat dibuktikan.

Ragam Penafsiran

Sebelum adanya Putusan MK No. 118/PUU-XX/2022, terkait dengan daluwarsa delik pemalsuan surat di KUHP ini terdapat ragam penafsiran. Pertama, penafsiran bahwa daluwarsa delik pemalsuan surat adalah sejak surat yang dipalsu atau surat palsu yang dibuat tersebut dibuat. Penafsiran ini didasarkan, pada pandangan, bahwa daluwarsa pada Pasal 79 angka 1 KUHP (in casu: sejak digunakan) hanyalah untuk delik pemalsuan mata uang atau pengrusakan mata uang, sehingga kata “mengenai pemalsuan” itu tidak ditafsirkan pula sebagai delik “pemalsuan surat”. Argumentasi ini didasarkan dari penggunaan kata hubung “atau” yang berarti alternatif, sehingga pemaknaan “mengenai pemalsuan atau pengrusakan mata uang” itu harus dibaca satu tarikan nafas, sehingga makna dari pengecualian pada Pasal 79 angka 1 KUHP harus dibaca, sebagai pemalsuan mata uang atau pengrusakan mata uang, bukan “delik pemalsuan (surat/mata uang)” atau pengrusakan mata uang.

Sebagaimana adagium hukum: “judiciis posterioribus fides est adhibenda (terjemahan bebas: “putusan akhir patutnya dipercaya).” (Zainal Arifin Mochtar dan Eddy O.S. Hiariej, Dasar-Dasar Ilmu Hukum: Memahami Kaidah, Teori, Asas, dan Filsafat Hukum. Red and White Publishing, Jakarta, 2021, h.169), terkait dengan digunakannya interpretasi daluwarsa yang demikian ini, bisa dilihat pada memori kasasi Jaksa Penuntut Umum pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 2224 K/Pid/2009, tertanggal 29 Juli 2020.

Kedua, penafsiran bahwa daluwarsa delik pemalsuan surat adalah sejak surat yang dipalsu atau surat palsu yang dibuat tersebut digunakan. Penafsiran ini adalah penafsiran yang paling banyak digunakan. Berdasarkan penafsiran ini, wujud kesalahan dari delik ini, bukan memalsu surat atau membuat surat palsu, tetapi menggunakannya, sehingga dihitung daluwarsanya adalah sejak digunakannya tersebut.

Para penganut penafsiran kedua ini menganggap, bahwa jika daluwarsanya dihitung sejak suratnya dibuat (in casu: penafsiran pertama), maka nantinya bisa dijadikan celah hukum, yaitu para pelaku delik pemalsuan surat akan membuat surat palsu atau memalsu surat, kemudian disimpan dalam waktu lama, baru kemudian digunakan yang tentunya hal ini akan sangat merugikan atau membahayakan korban. Adapun contoh dari digunakannya penafsiran ini adalah pada salah satu pertimbangan hukum hakim (ratio decedendi)pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1658 K/PID/2015, tertanggal 2 Maret 2016.

Ketiga, penafsiran bahwa daluwarsa delik pemalsuan surat adalah sejak surat yang dipalsu atau surat palsu yang dibuat tersebut diketahui oleh korbannya. Penafsiran ini menitikberatkan pada perlindungan hukum (rechtsbescherming) pada korban delik pemalsuan surat yang biasanya tenggang waktu tahu adanya delik pemalsuan surat dengan dibuatnya/digunakan surat palsu tersebut terpaut lama. Penafsiran ini menganggap tidak adil, ketika suatu delik yang tenggang waktu tahunya dengan dibuatnya/digunakan terpaut lama tersebut, tetapi dihitung daluwarsanya adalah sejak surat palsu tersebut dibuat/digunakan.

Oleh sebab itu, mendasarkan pada perlindungan pada korban yang baru mengetahui adanya surat palsu tersebut, maka seharusnya perhitungan daluwarsanya juga sejak diketahui adanya surat palsu tersebut. Adanya penafsiran ini, bisa dilihat di dalam salah satu pertimbangan hukum Putusan Pengadilan Negeri Padang Nomor Pid. 569/Pid/B/2013/PN.Pdg.Putusan, tertanggal 19 Desember 2013 yang dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor 825 K/Pid/2014, tertanggal 29 Oktober 2014.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait