Penafsiran Daluwarsa Delik Pemalsuan Surat: Sebelum dan Setelah Putusan MK
Kolom

Penafsiran Daluwarsa Delik Pemalsuan Surat: Sebelum dan Setelah Putusan MK

Adanya putusan ini, bisa dikatakan mendasarkan pada perlindungan hukum pada korban, sebagaimana pertimbangan hukum Putusan MK No. 118/PUU-XX/2022.

Bacaan 7 Menit

Dari adanya tiga penafsiran terkait daluwarsa delik pemalsuan surat dalam KUHP tersebut, dapat dilihat adanya ragam penafsiran yang terus diperdebatkan dalam hal penentuan daluwarsa atau tidaknya delik pemalsuan surat tersebut. Ragam penafsiran yang terus diperdebatkan ini seolah-olah perdebatan tanpa batas yang tidak ada kejelasan atau dalam ungkapan asing, dikenal sebagai in a state of limbo. Hal ini, seyogianya tidak terjadi, karena dalam hukum pidana harusnya menganut asas: “nullum crimen, nulla poena sine lege certa (terjemahan bebas: “tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas.”) yang pada pokoknya tidak diperbolehkannya ada multitafsir dalam hukum pidana, karena akan membahayakan kepastian hukum (rechtszekerheid) (Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Edisi Revisi, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2016, h.74).

Arah Penafsiran Setelah Putusan MK No. 118/PUU-XX/2022

Sebagaimana adagium hukum: “boni judicis est causas litium dirimere.” (terjemahan bebas: “Peran seorang hakim yang baik adalah untuk menghilangkan penyebab sengketa.”) (Alexander M. Burrill, A Law Dictionary and Glossary Vol. 1, Outlook Verlag, Frankfurt, 2021, h. 215), Majelis Hakim MK dalam menjatuhkan Putusan MK No. 118/PUU-XX/2022 telah memberikan kepastian terkait penafsiran daluwarsa delik pemalsuan surat. Dengan adanya Putusan MK No. 118/PUU-XX/2022, maka perhitungan daluwarsa dari adanya delik pemalsuan surat adalah sejak diketahui, digunakan, dan menimbulkan kerugian yang tentunya harus dibaca secara kumulatif.

Adanya putusan ini, bisa dikatakan mendasarkan pada perlindungan hukum pada korban, sebagaimana pertimbangan hukum Putusan MK No. 118/PUU-XX/2022 sub paragraf [3.10.3]: “Ketentuan demikian lebih memberikan kepastian hukum bagi semua pihak, terutama bagi korban, yang mungkin saja baru mengetahui adanya tindak pidana pemalsuan surat ketika timbul suatu kerugian pada dirinya dikarenakan adanya penggunaan surat dimaksud. Artinya, korban mungkin tidak akan mengetahui adanya pemalsuan surat apabila surat yang dipalsukan tersebut tidak dipergunakan oleh seseorang dan menimbulkan kerugian pada dirinya.”

Adanya Putusan MK No. 118/PUU-XX/2022 tersebut memang telah memberikan kepastian hukum dan telah didasarkan pada perlindungan pada korban tindak pidana pemalsuan surat, tetapi adanya frasa “dan menimbulkan kerugian” tersebut membuat seolah-olah delik pemalsuan surat adalah delik materiil yang harus ada kerugian dan perhitungan daluwarsanya adalah sejak timbulnya kerugian tersebut. Padahal, sebagaimana kata “dapat” di dalam Pasal 263 KUHP, dapat dipahami bahwa kerugian riil atau materil tidak harus ada di dalam delik tersebut. Hal ini paralel dengan Putusan MK No. 118/PUU-XX/2022 sub paragraf [3.10.2]: “Kerugian yang mungkin ditimbulkan sehubungan dengan pemalsuan berdasarkan Pasal 263 KUHP tidak harus kerugian yang bersifat materiil, melainkan juga apabila kepentingan masyarakat dapat dirugikan…”.

Oleh sebab itu, bukan berarti dengan adanya Putusan MK No. 118/PUU-XX/2022 telah mengubah delik pemalsuan surat, mengingat ketentuan yang diuji di Mahkamah Konstitusi, bukan terkait deliknya, tetapi terkait daluwarsanya yang ada di Pasal 79 angka 1 KUHP. Dengan demikian, terkait daluwarsa delik pemalsuan surat tersebut, seyogianya memang dibaca: “sejak diketahui, digunakan, dan menimbulkan kerugian.”, tetapi ketika memang tidak ada kerugian materiil yang dibuktikan dalam delik pemalsuan surat tersebut, maka cukup “sejak diketahui dan digunakan”.

Sebagai catatan, dalam Putusan MK No. 118/PUU-XX/2022, pemohon juga mendalilkan konstitusionalitas daluwarsa delik pemalsuan surat yang ada di Pasal 137 huruf a Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sekarang sudah menjadi undang-undang, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru). Namun, Majelis Hakim pada pertimbangan hukum Putusan MK No. 118/PUU-XX/2022 paragraf [3.15] menyatakan, bahwa hal tersebut tidak relevan. Ketentuan Pasal 137 huruf a KUHP Baru, padahal pengaturannya serupa dengan Pasal 79 angka 1 KUHP: “Jangka waktu kedaluwarsa dihitung mulai keesokan hari setelah perbuatan dilakukan, kecuali bagi: a. Tindak Pidana pemalsuan dan Tindak Pidana perusakan mata uang, kedaluwarsa dihitung mulai keesokan harinya setelah Barang yang dipalsukan atau mata uang yang dirusak digunakan.”

Dalam konstruksi ius constituendum, seyogianya melalui legislative review, daluwarsa delik pemalsuan surat di KUHP Baru yang akan berlaku pada 2026 atau tiga tahun lagi (in casu: Pasal 137 huruf a KUHP Baru) seyogianya juga disesuaikan dengan Pasal 79 angka 1 KUHP setelah Putusan MK No. 118/PUU-XX/2022, agar Pasal 137 huruf a KUHP Baru tersebut konstitusional atau dapat dilakukan constitutional review. Ketika nanti KUHP Baru berlaku maka sebagaimana asas similia similibus yang pada pokoknya bermakna, dalam perkara yang sama, harus diputus dengan sama (Dudu Wawan Setiawan dan Bambang Tri Bawono, “Disparity of Judge's Decision on Children Of Narcotics Crime Actors Study on Denpasar State Court Decision No. 3/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Dps. by Denpasar State Court Decision No. 14/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Dps.”, Jurnal Daulat Hukum, Vol. 2, No. 4, 2019, h. 582), maka Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 137 huruf a KUHP Baru tersebut inkonstitusional bersyarat, sepanjang tidak dimaknai: “Jangka waktu kedaluwarsa dihitung mulai keesokan hari setelah perbuatan dilakukan, kecuali bagi: a. Tindak Pidana pemalsuan dan Tindak Pidana perusakan mata uang, kedaluwarsa dihitung mulai keesokan harinya setelah Barang yang dipalsukan atau mata uang yang dirusak diketahui, digunakan, dan menimbulkan kerugian”.

*)Xavier Nugraha adalah advokat di Surabaya.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait