Pengacara Panitera PN Jakut: Tak Ada Pemecatan, Justru Rohadi Kangen Saya
Berita

Pengacara Panitera PN Jakut: Tak Ada Pemecatan, Justru Rohadi Kangen Saya

Tonin merasa, sesama pengacara tidak sepatutnya saling "menghantam".

NOV
Bacaan 2 Menit
Pengacara Panitera PN Jakut: Tak Ada Pemecatan, Justru Rohadi Kangen Saya
Hukumonline
Pengacara Panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara Rohadi, Tonin Tachta Singarimbun membantah jika kliennya ingin "memecat" atau mencabut surat kuasanya. Tonin juga membantah jika Rohadi tidak setuju dan ingin mencabut permohonan praperadilan yang telah ia layangkan ke PN Jakarta Pusat.

"Saya sudah bertemu beliau. Tidak ada bicara soal mencabut kuasa saya. Malah beliau kangen sekali sama saya, karena setelah lebaran baru bertemu. Senang sekali beliau. Kalau saya bukan pengacaranya, masa' saya bisa masuk ke dalam KPK," katanya kepada hukumonline, usai menemui Rohadi di rumah tahanan KPK, Rabu (14/7) malam.

Tonin sekaligus ingin mengklarifikasi pernyataan pengacara Rohadi yang lain, Hendra Heriansyah. Sebab, beberapa waktu lalu, Hendra menyampaikan bahwa Rohadi berencana memecat Tonin karena mengajukan praperadilan tanpa sepersetujuan Rohadi. Bahkan, Rohadi ingin mencabut permohonan praperadilan tersebut.

Atas pernyataan Hendra ini, Tonin justru mempertanyakan, kapan Hendra mendapat surat kuasa dari Rohadi. Menurutnya, Rohadi tidak pernah menyampaikan memiliki pengacara lain selain dirinya. Tonin sendiri mendapatkan surat kuasa pada 20 Juni 2016, beberapa hari setelah penangkapan Rohadi oleh KPK.

Tonin menceritakan, ia dihubungi oleh keluarga Rohadi. Bersama-sama anak dan keluarga Rohadi, ia mendatangi Rohadi di KPK pada Kamis, 15 Juni 2015. Sesuai permintaan anak Rohadi, Tonin menjadi kuasa Rohadi. Namun, Rohadi belum bisa ditemui, sehingga Tonin hanya meninggalkan surat untuk ditandatangani Rohadi.

Setelah ditandatangani, surat kuasa itu diserahkan kepada Tonin pada Senin, 20 Juni 2016. Resmi lah Tonin menjadi pengacara Rohadi. Seminggu kemudian, Tonin yang juga bertindak sebagai kuasa hukum anak Rohadi, Ryan Seftriadi selaku pemohon mengajukan praperadilan ke PN Jakarta Pusat. Tidak ada penolakan dari Rohadi.

Terlebih lagi, lanjut Tonin, praperadilan itu merupakan upaya koreksi yang disediakan oleh undang-undang. Sesuai Pasal 79 KUHAP, permohonan praperadilan terhadap sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan dapat diajukan oleh tersangka, keluarga, atau kuasanya kepada pengadilan dengan menyebutkan alasannya.

Jadi, Tonin berpendapat, tidak ada yang salah dengan permohonan praperadilan yang diajukannya. Lagipula, Tonin merasa KPK justru senang jika ada upaya koreksi yang dilakukan warga negara terhadap lembaganya. Toh, dengan adanya praperadilan, pimpinan KPK akan mengetahui apa yang dilakukan anak buahnya sudah benar atau tidak.

Tonin menilai, tidak semua warga negara dapat diproses di KPK. Contohnya, Rohadi. Jabatan Rohadi di PN Jakarta Utara hanya panitera pengganti. UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme sudah mengatur tegas, siapa saja yang masuk kategori penyelenggara negara.

Salah satunya adalah panitera pengadilan. Namun, Tonin menganggap, panitera pengadilan berbeda dengan panitera pengganti. Hal ini dapat dilihat dalam UU No.49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, dimana ada perbedaan antara panitera, panitera muda, dan panitera pengganti. Oleh karena itu, KPK dianggap tidak berwenang menangani kasus Rohadi.

Mengenai mengapa praperadilan diajukan ke PN Jakarta Pusat dan bukan PN Jakarta Selatan sesuai domisili KPK, Tonin memiliki alasan sendiri. Ia beralasan, KUHAP tidak mengatur praperadilan harus diajukan di wilayah hukum termohon. Tidak seperti perdata yang gugatannya dilayangkan di wilayah hukum termohon.

"Praperadilan ini kan pidana, tentu mengacu ke KUHAP. Nah, di UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK disebut KPK berkedudukan di ibu kota. Ibu kota kan Jakarta. Di Jakarta, ada beberapa pengadilan. Boleh dong kalau saya ajukan ke PN Jakarta Pusat. Apalagi, sebelumnya saya juga pernah mengajukan ke PN Jakarta Pusat," ujarnya.

Etikanya dimana?
Tonin mempertanyakan tindakan Hendra yang “berkoar-koar” di media soal pemecatannya sebagai kuasa hukum Rohadi. Sebagai pengacara, Tonin mengaku akan menolak bila diminta menyampaikan pemecatan pengacara lain. Apalagi, sampai harus "berkoar-koar" ke media. Ia merasa tidak sepatutnya sesama pengacara saling "menghantam".

"Apa boleh pengacara memecat pengacara? Saya saja pengacara, kalau diminta ngomong begitu, saya tidak mau ngomong, silakan yang bersangkutan (klien) sendiri. Nah, etikanya dimana gitu lho? Coba lihat surat kuasa dia (Hendra). Ada nggak kuasa untuk menyampaikan pemecatan. Nggak ada, ya jangan dong," ucapnya.

Selain itu, Tonin meminta Hendra tidak membenturkan Rohadi dengan KPK. Ia meluruskan pernyataan Hendra yang menyebutkan bahwa upaya praperadilan akan merugikan Rohadi. Menurutnya, upaya praperadilan tidak bisa diartikan bahwa Rohadi tidak bersikap kooperatif. Nyatanya, dalam pemeriksaan, Rohadi selalu kooperatif.

Sebagaimana diketahui, Rohadi merupakan salah seorang tersangka dalam kasus suap terkait pengurusan perkara pencabulan pedangdut Saipul Jamil. Rohadi bersama dua pengacara, Berthanatalia Kariman dan Kasman Sangaji, serta kakak Saipul, Samsul Hidayatullah ditangkap KPK pada 15 Juni 2016.

Penangkapan terjadi sehari setelah putusan dibacakan di PN Jakarta Utara. Dari hasil penangkapan, KPK turut menyita uang sejumlah Rp250 juta. Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menyebutkan, uang Rp250 juta itu hanya setengah dari uang yang dijanjikan, yaitu Rp500 juta. Diduga, uang bersumber dari Saipul.

Saipul didakwa melakukan tindak pidana pencabulan terhadap anak. Saipul didakwa secara alternatif dengan Pasal 82 UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pasal 290 KUHP, atau 292 KUHP. Jaksa menuntut Saipul tujuh tahun penjara dan denda Rp100 juta dengan Pasal 82 UU Perlindungan Anak.

Namun, majelis hakim yang diketuai Ifa Sudewi memilih membuktikan dakwaan alternatif ketiga, yaitu Pasal 292 KUHP. Alhasil, majelis menghukum Saipul dengan pidana penjara selama tiga tahun. KPK menduga pemberian uang Rp250 juta kepada Rohadi bertujuan untuk mengurangi atau "mengkorting" hukuman Saipul. 
Tags:

Berita Terkait